Allah SWT
hanya menurunkan agama tauhid ke dunia, sebagai petunjuk dan pengajaran bagi
manusia. Sehingga selama manusia berpegang kepada ajaran agama tauhid yang
diturunkan oleh Allah melalui para rasul-Nya, maka tidak ada keraguan bagi
mereka untuk mendapat rahmat dan hidayah-Nya.
Sebagaimana
Allah SWT berfirman dalam Surah Ali ‘Imran (3) ayat 84;
“Katakanlah; ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada
apa yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail,
Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan
Para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara
mereka dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyerahkan diri’.” (Q.S. 3 : 84)
Dengan beriman kepada sebagian dan mendustakan sebagian yang
lain. Mengikhlaskan
beribadah kepada-Nya. Tafsir
ayat ini,
lebih rincinya sudah disebutkan dalam surat Al Baqarah (1) : 136, Allah
SWT berfirman;
“Katakanlah (hai orang-orang
mukmin): ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Kami, dan
apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya,
dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada
nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka
dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’.” (Q.S. 2 : 136)
Ayat yang mulia ini mengandung
hal-hal yang wajib kita imani. Iman adalah pembenaran dari hati kepada dasar-dasar ini, iqrar (pengakuan di lisan) dan
pengamalan dengan anggota badan. Berdasarkan arti ini, maka kata iman sudah termasuk ke
dalamnya Islam, demikian juga termasuk ke dalam iman semua amal shalih.
Amal shalih adalah bagian dari
iman dan salah satu atsar (pengaruh) di antara atsar-atsarnya. Oleh karena itu, jika disebutkan iman secara
mutlak, maka hal-hal tadi termasuk di dalamnya. Demikian juga kata ‘Islam’, jika
disebutkan secara mutlak, maka masuk juga ke dalamnya iman.
Namun, apabila disebut Iman dan Islam secara bersamaan, maka iman
adalah sesuatu yang menancap di hati berupa pembenaran dan pengakuan, sedangkan Islam sebagai nama
untuk amal-amal yang nampak di luar. Sama seperti ini, jika disebut iman dan amal shalih. Iman adalah
sesuatu yang menancap di hati, sedangkan amal shalih adalah amalan yang nampak di luar.
Maksudnya, perkataan
yang dibenarkan oleh hati. Inilah perkataan yang sempurna yang akan diberi
pahala. Sebaliknya, jika
terbatas di lisan saja tanpa masuk ke dalam hati, maka hal itu merupakan nifak
dan kekufuran.
Perintah untuk mengatakan hal-hal di atas, adalah isyarat untuk
menampakkan secara
terang-terangan 'Aqidah Islam, sekaligus
mendakwahkan manusia kepadanya.
Pada kata-kata ini ‘Kami beriman’ dinisbatkan kepada umat Islam secara menyeluruh yang
menunjukkan wajibnya
mereka berpegang dengan agama Allah dan bersatu di atasnya serta larangan
berpecah-belah. Ayat ini
juga menunjukkan bahwa kaum mukmin itu seperti satu jasad.
Kata-kata ini menunjukkan
bolehnya seseorang menyebut dirinya beriman 'ala wajhit taqyid (secara tafshil, seperti: ‘saya beriman
kepada Allah’,
‘saya beriman kepada kitab-kitab
Allah’,
dsb.), bahkan hal itu wajib.
Berbeda, jika mengatakan "saya
seorang mukmin", maka harus disertakan istitsna' (kata Insya Allah) karena di dalamnya terdapat tazkiyah (anggapan suci terhadap diri), dan
persaksian dirinya sebagai mukmin.
Beriman kepada Allah mencakup
beriman bahwa Allah itu ada, Dia sebagai Rabbul
'alamin (Pencipta,
Penguasa dan Pemberi rezeki alam
semesta), Maha Esa,
memiliki sifat sempurna, bersih dari sifat kekurangan dan cacat, yang satu-satunya
berhak diibadahi dan tidak boleh disekutukan.
Mencakup beriman kepada Al Qur'an dan As Sunnah, berdasarkan
Surat
An Nisaa' (4) ayat
113,
yang di sana disebutkan
“wa
anzalallahu 'alaikal kitaaba wal hikmah.”
“Sekiranya bukan karena karunia
Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan
keras untuk menyesatkanmu. tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya
sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. dan (juga karena) Allah telah menurunkan
kitab dan Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum
kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (Q.S. 4 : 113)
Oleh karena itu, dalam beriman
kepada apa yang diturunkan
Allah kepada kita mencakup beriman kepada isi Al Qur'an dan As Sunnah, seperti
tentang sifat-sifat Allah, sifat-sifat rasul-Nya,
tentang hari akhir, hal-hal ghaib yang telah lalu dan yang akan datang, serta beriman kepada kandungan Al
Qur'an dan As Sunnah,
berupa hukum-hukum syar'i yang berupa
perintah dan larangan
dan hukum-hukum jaza'i (pembalasan
terhadap amal) dsb.
Seperti shuhuf (lembaran-lembaran berisi wahyu). Mereka adalah para nabi yang
berasal dari keturunan Ya'qub (Bani Israil). Dalam beriman kepada kitab-kitab Allah, kita mengimaninya
secara ijmal dan tafshil.
Secara ijmal (garis besar) maksudnya kita mengimani
bahwa Allah SWT
telah menurunkan kitab-kitab atau shuhuf kepada para nabi, meskipun
tidak diberitahukan kepada kita namanya seperti pada ayat di atas.
Sedangkan secara tafshil (rinci) adalah kita mengimani
kitab-kitab tersebut secara rinci, yakni yang disebutkan nama kitabnya dan siapa yang menerimanya karena
kemuliaan mereka sehingga disebutkan namanya dalam Al Qur'an dan karena mereka datang membawa
syari'at-syari'at yang agung.
Misalnya, mengimani Al Qur'an yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, Zabur yang diturunkan
kepada Nabi Dawud AS,
Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa AS dan Injil yang diturunkan kepada
Nabi Isa AS.
Dari ayat ini, kita juga
mengetahui bahwa nikmat agama yang benar merupakan nikmat yang sangat besar, karena
terkait dengan bahagia atau sengsara seseorang di dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, Allah SWT
tidak menyuruh kita mengimani apa yang diberikan kepada para nabi berupa kerajaan, harta dsb. Akan
tetapi, Dia memerintahkan kita beriman kepada apa yang diberikan kepada mereka berupa kitab-kitab dan syari'at
mereka.
Disebutkan kata "Mirr rabbihim" (dari
Tuhan mereka), terdapat
isyarat bahwa termasuk kesempurnaan rububiyyah (kepengurusan) Allah kepada
hamba-hamba-Nya, yaitu
dengan menurunkan kepada mereka kitab-kitab
dan mengutus para rasul, dan Rububiyyah-Nya
kepada hamba-hamba-Nya menghendaki untuk tidak membiarkan mereka begitu saja dalam kebingungan.
Apabila yang diberikan kepada
para nabi itu berasal dari Tuhan mereka, maka di sana terdapat perbedaan antara para nabi dengan
orang-orang yang mengaku sebagai nabi, yaitu dengan melihat apa yang mereka dakwahkan.
Para rasul tidaklah mendakwahkan, selain
kepada kebaikan dan tidak melarang, kecuali dari perbuatan
buruk, masing-masing mereka saling membenarkan tidak bertentangan, karena
memang sama-sama berasal dari Tuhan mereka,
berbeda dengan orang yang mengaku sebagai nabi, pasti terjadi pertentangan antara berita yang
mereka sampaikan, demikian juga pada perintah dan larangan sebagaimana hal itu diketahui oleh orang
yang biasa mengkaji.
Maksudnya, tidak
membeda-bedakan dalam beriman, yakni semuanya mereka imani tidak seperti orang-orang Yahudi yang beriman hanya sampai
kepada Nabi Musa AS,
dan tidak seperti orang-orang Nasrani
yang beriman hanya sampai kepada Nabi Isa AS. Padahal kafir kepada seorang
nabi, sama saja
kafir kepada semua nabi.
Setelah Allah SWT
menyebutkan beberapa hal yang wajib diimani, baik secara umum maupun khusus, sedangkan ucapan
tidak berhenti sampai di situ. Bahkan membutuhkan kerja nyata
atau amal, maka
Allah SWT
memerintahkan untuk menambahkan "dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya", yakni tunduk kepada
keagungan-Nya dan patuh beribadah kepada-Nya baik zhahir maupun batin sambil
mengikhlaskan diri hanya kepada-Nya.
Ayat di atas meskipun ringkas,
namun sebenarnya mencakup beberapa hal, di antaranya:
·
Tauhid
yang tiga; tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid asma' wash shifat.
·
Beriman
kepada semua Rasul.
·
Beriman
kepada semua kitab.
· Disebutkan
sebagian para rasul,
setelah menyebutkan beriman kepada para rasul secara umum, menunjukkan
keutamaan mereka di atas yang lain.
· Menjelaskan
tentang hakikat iman yang menghendaki adanya pembenaran di hati, lisan dan anggota badan serta berbuat ikhlas
lillah dalam semua itu.
· Menjelaskan
mana rasul yang sesungguhnya dengan orang yang mengaku sebagai rasul padahal bukan rasul.
· Menjelaskan
tentang ucapan yang diajarkan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya.
· Menunjukkan
rahmat (kasih sayang) Allah SWT dan ihsan-Nya
kepada hamba-hamba-Nya
dengan memberikan nikmat agama yang menjamin kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Maka Mahasuci Allah SWT yang
menjadikan kitab-Nya sebagai penjelas segala sesuatu, sebagai petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman.
(Machfudh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar