Perbedaan
pendapat mengenai boleh tidaknya menerima imbalan dalam mensyiarkan agama
(Dakwah), sampai saat ini masih menjadi sebuah polemik yang berkepanjangan.
Untuk itu, sang fakir hanya ingin
berbagi informasi dan sedikit pengetahuan mengenai permasalahan tersebut,
sehingga pesan moral, sampaikanlah walau satu ayat dapat
dijalankan sesuai dengan syariat Islam.
Apa
pun yang disampaikan melalui tulisan ini, hanyalah sebagai bahan renungan. Baik
untuk diri sang fakir sendiri maupun
bagi yang membacanya, tidak pula sang
fakir merasa lebih baik dari yang membaca tulisan ini. Semoga apa yang
disampaikan bermanfaat. Aammiinn.
Sebelum
sang Fakir mengemukakan beberapa ayat
dalam Al Qur’an serta hadits yang memperkuat ayat-ayat mengenai boleh tidaknya
menerima imbalan dalam berdakwah, alangkah baiknya apabila kita sedikit melihat
sejarah para nabi dan rasul dalam menjalankan perintah Allah SWT, terutama
dalam berdakwah.
Selain
itu, sebaiknya juga kita sama-sama merenungi dan memahami maksud tersirat dari
Surah Yaasiin ayat 17, Allah SWT berfirman;
“Dan kewajiban kami tidak lain
hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas (terang-terangan).”
(Q.S. 36 : 17)
Dan, dalam Surah Yaasiin ayat 21, Allah SWT berfirman;
“Ikutilah orang yang tiada minta
Balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(Q.S. 36 : 21)
Dari
dua ayat diatas, termaktub bahwa kalau kita ingin berdakwah, harus disadari sebagai perintah
suci dari-Nya. Wajib disampaikan dan haram disembunyikan, hanya karena takut
menyinggung hati yang mendengar.
Segala
muatan dakwah, baik perintah, larangan ataupun petunjuk, haruslah disampaikan
sejelas mungkin dan berterus terang. Blak-blakan tanpa takut dibenci, dicaci,
bahkan terhadap rencana jahat manusia sekalipun, karena melakukannya hanya
mengharap ridha Allah SWT semata.
Selain
itu, ketika kita telah memutuskan niat untuk berdakwah, Allah SWT memerintahkan
kepada kita untuk mengikuti orang-orang yang tidak meminta balasan terhadap apa
yang disampaikannya, karena mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Siapakah
orang-orang yang mendapat petunjuk, yaitu para nabi dan rasul-Nya, serta ulil
amri. Kalau melihat sedikit sejarah para nabi dan rasul, salah satunya Nabi
Muhammad SAW. Ketika beliau mensiarkan agama Islam di muka bumi ini, menurut
catatan sejarah beliau tidak pernah sedikitpun meminta imbalan dari semua
risalah yang disampaikannya.
Dalam Al Qur’an Surah Al Furqaan ayat 56 – 57, Allah SWT berfirman;
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan
hanya sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Katakanlah: ‘Aku
(Muhammad) tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah
itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan
kepada Tuhan nya’.” (Q.S. 25 : 56 – 57)
Dari
ayat diatas, Allah SWT dengan tegas melarang Nabi Muhammad SAW untuk meminta
upah kepada umat dari risalah yang disampaikannya. Rasulullah SAW diutus Allah
SWT sebagai pembawa kabar, baik perintah, larangan maupun petunjuk, bahkan
peringatan kepada manusia.
Bahkan
banyak ayat lain dalam Al Qur’an yang mengungkapkan bahwa para nabi tidak meminta upah kepada umatnya atas
risalah atau dakwah yang disampaikannya. Diantaranya; Al An’am ayat 90, Huud ayat 29 dan ayat 51, Asy Syu’raa’ ayat 164 dan ayat 180, dan Yaasiin ayat 20 – 21.
Menurut
sejarah dakwah yang dilakukan para nabi dan rasul hanya karena Allah SWT
semata, bukan mengharap sesuatu dari manusia, apalagi upah atau imbalan dari
dakwahnya itu. Jadi, kalau memang kita ingin berdakwah (mensiarkan ajaran
Islam), sudah sepatutnya dilandasi dengan keikhlasan dan niat suci dalam
berjihad demi tegaknya syariat ajaran Islam.
Dalam
Al Qur’an Surah Asy Syuura ayat 23, Allah SWT berfirman;
“Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah
menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh.
Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku
kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan". dan siapa yang mengerjakan
kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (Q.S. 42 : 23)
Sehingga
jelas bahwa banyak ayat dalam Al Qur’an yang melarang kita dalam berdakwah
untuk meminta upah atau imbalan, melainkan hanya meminta upah dan imbalan dari
Allah SWT. Merujuk pada ayat diatas, Allah SWT akan menambah kebaikan atas
kebaikan yang dilakukan manusia, kalau kebaikan tersebut dilakukan dengan
keikhlasan tanpa mengharap-harap imbalan.
Lalu,
bagaimana bagi yang berdakwah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya? Dalam sejarah
diungkapkan bahwa Rasulullah SAW adalah seorang pedagang dan pengembala
kambing, bahkan harta istrinya (Siti Khadijah) dipakai untuk berdakwah.
Selain
beliau berdakwah menyampaikan risalah (wahyu) dari Allah SWT, beliau juga
berniaga mencari nafkah untuk keluarganya. Baik berdagang maupun mengembala, tidak
sepeserpun rezeki yang diperolehnya dari hasil berdakwah, seperti yang telah
dijelaskan diatas.
Kalau
kita ingin berdakwah, mensiarkan ajaran Islam. Jadikanlah sarana tersebut
sebagai jalan mendapatkan keberkahan dan keridhaan Allah SWT. Sedangkan kalau
kita ingin memenuhi kebutuhan hidup keluarga, berusahalah dengan cara yang
halal, baik berdagang atau pekerjaan lain.
Janganlah
mencampur-adukan berdakwah dengan mencari rezeki bagi keluarga, renungkanlah. Kenapa kita menjadikan dakwah sebagai lahan menjari rezeki? Benarkah
hal tersebut jika dilakukan? Semua kembali kepada diri kita masing-masing, sang Fakir hanya menyampaikan apa yang
seharusnya disampaikan.
Sebagai penutup, sang Fakir ingin menyampaikan sebuah hadits shahih yang menjelaskan bahwa
Rasullah SAW melarang kepada seorang sahabat menerima dirham/upah atas
dakwahnya.
Dikisahkan dalam hadits tersebut, seorang sahabat yang bertanya kepada
Rasulullah SAW, bahwa ia dijamu dengan beragam hidangan oleh kaum yang mendengar
dakwahnya.
Terhadap
hal ini,
Rasulullah SAW hanya tersenyum (tidak melarang) dan hanya mengomentari: “Kamu senang”, sahabat menjawab; “Iya,
ya Rasulullah”.
Namun ketika sahabat bertanya tentang bolehkan ia menerima bingkisan dirham atau upah
setelah berdakwah,
maka Rasul melarangnya dengan jawaban; “Ambilah,
jika kamu ingin dijebloskan ke dalam neraka”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar