Sikap skeptis
tentang perang agama sebagai perekat dan nilai manusia. Dalam pandangan
ekstrim, bahwa agama sebagai pemicu tumbuh kembangnya konflik horisontal. Ditambah lagi, belakangan ini sekan-akan
agama melemah sebagai kontrol sosial.
“Pada saat gerakan reformasi yang digulirkan pada tahun 1998,
disertai dengan terjadinya beberapa kasus kekerasan. Bahkan ada asumsi yang
mengarah bahwa agama sebagai unsur pemicunya,” ungkap Lukman Hakim Syaifuddin
di Grandroom, Hotel Sultan, Kamis (14/08-2014).
Menurutnya, melihat perbedaan pandangan seputar isu-isu
keagamaan kekinian, telah melahirkan dua kutub yang berseberangan, radikal dan
liberal. “Radikalisme berlatar belakang inilah, yang dipandang sebagai lemahnya
agama sebagai kontrol sosial,” kata Menteri Agama Republik Indonesia.
Agama seakan lemah untuk menghasilkan perdamaian, keserasian
dan toleransi. “Justru agama menjadi momok yang menakutkan bagi pluralitas
bangsa ini, seperti yang tejadi belakangan ini, dengan isi ISIS (Islamic State
of Iraq dan Suriah),” ujar Lukman Hakim Syaifuddin.
Tantangan terbesar bangsa ini, tambah Menteri Agama RI, bahwa
keragaman keyakinan dan agama yang potensial melahirkan konflik. “Bangsa
Indonesia, sebagai negara kepulauan, terdiri dari beragam budaya, bahasa dan
tentunya agama,” katanya.
Menurutnya, keragaman tersebut disatu sisi dapat menimbulkan
konflik, jika tidak dikelola dengan baik. “Namun, keragaman dapat menjadi
kekuatan, guna menjadikan bangsa yang maju. Tidak mudah menyandingkan berbagai
keyakinan hidup berdampingan, sejarah mencatat banyak konflik yang dilatar
belakangi agama,” papar Lukman Hakim Syaifuddin.
Lantaran kerap kali terjadi konflik tersebut, sehingga
mengisi memori umat setelahnya, serta mendorong membawa konflik itu dalam
kehidupannya. Akibatnya, konflik masa lalu selalu menjadi pemicu lahirnya
konflik masa kini.
“Hal yang sering muncul dalam keragaman beragama, adalah
lahirnya kelompok radikal, sebagaimana kita ketahui, bahwa radikalisme identik
dengan perilaku intelorans terhadap perbedaan,” ungkapnya.
Ekstrim dalam menyikapi masalah, tambah Lukman Hakim
Syaifuddin, bahkan menjadikan kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah.
“Masih ada sebagian kelompok masyarakat yang belum bisa menerima arti
perbedaan, akibatnya perbedaan dipaksa untuk melebur ke dalam satu pemahaman
yang mereka pahami,” terangnya.
Lebih jauh lagi, Menteri Agama Republik Indonesia,
menjelaskan bahwa tragedi kekerasan kelompok radikalis juga meninggalkan pesan.
“Dimana pemahaman merekalah yang paling benar, perbedaan pendapat yang
seyogyanya menjadi sebuah dinamika kehidupan yang harus didialogkan. Justru
menjadi alasan untuk adanya pemaksaan pendapat terhadap mereka yang kontra,”
terangnya.
Radikalisme disetiap jaman selalu menjadi common army, karena selalu menimbulkan
berbagai kerusakan ditengah-tengah masyarakat. “Sikap kelompok radikalisasi
dalam bersosialisasi dengan kelompok lainnya, telah melahirkan berbagai tragedi
sosial, berupa runtuhnya rasa kebersamaan dan saling menghormati,” tukas Lukman
Hakim Syaifuddin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar