Selasa, 19 Agustus 2014

Menteri Agama Republik Indonesia, Lukman Hakim Syaifuddin : Lemahnya Agama Sebagai Kontrol Sosial

Sikap skeptis tentang perang agama sebagai perekat dan nilai manusia. Dalam pandangan ekstrim, bahwa agama sebagai pemicu tumbuh kembangnya konflik horisontal. Ditambah lagi, belakangan ini sekan-akan agama melemah sebagai kontrol sosial.

“Pada saat gerakan reformasi yang digulirkan pada tahun 1998, disertai dengan terjadinya beberapa kasus kekerasan. Bahkan ada asumsi yang mengarah bahwa agama sebagai unsur pemicunya,” ungkap Lukman Hakim Syaifuddin di Grandroom, Hotel Sultan, Kamis (14/08-2014).

Menurutnya, melihat perbedaan pandangan seputar isu-isu keagamaan kekinian, telah melahirkan dua kutub yang berseberangan, radikal dan liberal. “Radikalisme berlatar belakang inilah, yang dipandang sebagai lemahnya agama sebagai kontrol sosial,” kata Menteri Agama Republik Indonesia.

Agama seakan lemah untuk menghasilkan perdamaian, keserasian dan toleransi. “Justru agama menjadi momok yang menakutkan bagi pluralitas bangsa ini, seperti yang tejadi belakangan ini, dengan isi ISIS (Islamic State of Iraq dan Suriah),” ujar Lukman Hakim Syaifuddin.

Tantangan terbesar bangsa ini, tambah Menteri Agama RI, bahwa keragaman keyakinan dan agama yang potensial melahirkan konflik. “Bangsa Indonesia, sebagai negara kepulauan, terdiri dari beragam budaya, bahasa dan tentunya agama,” katanya.

Menurutnya, keragaman tersebut disatu sisi dapat menimbulkan konflik, jika tidak dikelola dengan baik. “Namun, keragaman dapat menjadi kekuatan, guna menjadikan bangsa yang maju. Tidak mudah menyandingkan berbagai keyakinan hidup berdampingan, sejarah mencatat banyak konflik yang dilatar belakangi agama,” papar Lukman Hakim Syaifuddin.

Lantaran kerap kali terjadi konflik tersebut, sehingga mengisi memori umat setelahnya, serta mendorong membawa konflik itu dalam kehidupannya. Akibatnya, konflik masa lalu selalu menjadi pemicu lahirnya konflik masa kini.

“Hal yang sering muncul dalam keragaman beragama, adalah lahirnya kelompok radikal, sebagaimana kita ketahui, bahwa radikalisme identik dengan perilaku intelorans terhadap perbedaan,” ungkapnya.

Ekstrim dalam menyikapi masalah, tambah Lukman Hakim Syaifuddin, bahkan menjadikan kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah. “Masih ada sebagian kelompok masyarakat yang belum bisa menerima arti perbedaan, akibatnya perbedaan dipaksa untuk melebur ke dalam satu pemahaman yang mereka pahami,” terangnya.

Lebih jauh lagi, Menteri Agama Republik Indonesia, menjelaskan bahwa tragedi kekerasan kelompok radikalis juga meninggalkan pesan. “Dimana pemahaman merekalah yang paling benar, perbedaan pendapat yang seyogyanya menjadi sebuah dinamika kehidupan yang harus didialogkan. Justru menjadi alasan untuk adanya pemaksaan pendapat terhadap mereka yang kontra,” terangnya.

Radikalisme disetiap jaman selalu menjadi common army, karena selalu menimbulkan berbagai kerusakan ditengah-tengah masyarakat. “Sikap kelompok radikalisasi dalam bersosialisasi dengan kelompok lainnya, telah melahirkan berbagai tragedi sosial, berupa runtuhnya rasa kebersamaan dan saling menghormati,” tukas Lukman Hakim Syaifuddin.

Bahkan ketika kelompok lain berseberangan, tambahnya, maka permusuhan dikumandangkan. “Kekerasan menjadi cara penyelesaiannya. Kehidupan yang seyogyanya tumbuh dalam bingkai kebersamaan dan saling menghormati, diruntuhkan oleh sikap egois dan mementingkan diri sendiri. Nah, disinilah peran penting kontrol sosial dari agama yang saat ini sekan melemah,” tandasnya. (Machfudh)

Tidak ada komentar: