Kamis, 21 Agustus 2014

Hal-hal yang Wajib Diimani Oleh : Machfudh

Polemik dan konflik mengenai keberagaman beragama yang merebak di kalangan masyarakat, khususnya di Indonesia, seakan tidak pernah terjadi titik temu demi terciptanya kehidupan yang damai, saling menghargai, dan saling menghormati satu sama lainnya.

Pasalnya, pemahaman masyarakat mengenai beragama sangatlah minim, ditambah lagi dengan banyaknya pihak yang tidak bertanggungjawab mengambil keuntungan pribadi dari problematik tersebut.

Berikut ini, penulis ingin menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan, semoga tulisan ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita semua, khususnya penulis. Sehingga sedikitnya mampu memberikan pencerahan kepada yang membacanya, tentang apa yang sebenarnya.

Semua kebenaran hanyalah datang dari Allah SWT, sedangkan kesalahan datangnya dari penulis yang masih banyak kekurangan. Penulis ingin menyampaikan salah satu ayat dari surah Al Baqarah, dimana Allah SWT berfiman;
 
Katakanlah (hai orang-orang mukmin): Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya (Tuhan mereka). Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (Q.S. 2 : 136)

Pada surah Al Baqarah ayat 136 diatas ini, mengandung makna yang tersurat (nyata) dan tersirat (terkandung didalamnya), yaitu mengenai hal-hal yang wajib kita imani. Pengertian iman, mungkin sudah banyak orang yang mengetahui, bahkan bukan hanya di Islam saja melainkan disemua agama.

Iman adalah membenarkan dalam hati, diucapkan secara lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan. Dengan demikian bila mengaku beriman, maka harus benar-benar menyakini kebenaran tersebut di dalam hati, kemudian mengucapkannya dengan lisan (syahadat), dan mengaplikasikannya di dalam kehidupan sehari-hari (amal shaleh).

Merujuk pada pengertian iman, maka syariat Islam terdapat didalamnya, begitu juga sebaliknya, bila didalam Islam sudah pasti termasuk iman didalamnya. Ketika Islam dan Iman disandingkan, maka terlihatlah dengan jelas, bahwa Iman merupakan pengakuan dan pembenarannya (dari dalam diri), sedangkan Islam adalah aplikasinya (perbuatan nyata berupa amal shaleh) yang terlihat dari luar.

Jadi, ucapan secara lisan yang diyakini kebenarannya dalam hati dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, itulah yang akan mendapatkan balahasan pahala dari Allah SWT. Namun jika seseorang mengaku Islam, namun hanya sebatas ucapannya saja, maka itu merupakan kekufuran.

Penjelasan diatas, menjadi sebuah isyarat yang harus disampaikan secara jelas dan berterus terang mengenai aqidah dan syariat Islam yang sesungguhnya, serta menyampaikan (disyiarkan atau didakwahkan) kepada yang lainnya.

Pada kalimat ‘Kami beriman’, ditujukan kepada seluruh umat Islam, dimana mengandung kewajiban untuk berpegang teguh kepada agama Allah SWT, saling bersatu didalamnya dan dilarang berpecah belah. Kaum mukmin itu diibaratkan seperti tubuh manusia, merupakan satu kesatuan yang utuh, tidak bisa dipisah-pisahkan.

Boleh saja seseorang mengatakan dirinya beriman, secara tafshil, ‘ala wajhit taqyid. Misalnya; saya beriman kepada Allah, saya beriman kepada kitab-kitab Allah, dan lain sebagainya. Bahkan mengucapkan kalau dirinya beriman itu, menjadi kewajiban.

Akan berbeda maknanya apabila seseorang mengungkapkan kalau dirinya seorang mukmin, maka kalimat tersebut harus disertai dengan kalimat Insya Allah. Sebab kalimat, ‘saya seorang mukmin’, terdapat tazkiyah (menganggap dirinya suci), dan persaksian dirinya sebagai mukmin.

Kalimat ‘Beriman kepada Allah’, mengandung didalamnya pengakuan bahwa Allah sebagai Rabbul ‘alamin (pencipta, penguasa dan pemberi rezeki, serta rahmat bagi alam semesta). Dia Maha Esa, memiliki sifat sempurna, bersih dari segala kekurangan dan cacat, serta hanya kepada Dia-lah satu-satunya yang berhak disembah dan tidak boleh disekutukan.

Beriman kepada apa yang diturunkan Allah SWT kepada kita’, termasuk didalamnya beriman kepada Al Qur’an dan As Sunnah, serta juga isi kandungannya. Seperti, mengenai sifat-sifat Allah, sifat-sifat rasul-Nya, tentang hari akhir (kiamat), mengenai juga hal-hal ghaib yang telah lalu dan yang akan datang, serta mengenai hukum-hukum syar’i berupa perintah dan larangan, serta hukum-hukum jaza’i (pembalasan terhadap amal perbuatan).

Dimana Allah SWT berfirman dalam surah An Nisaa’ ayat 113, bahwa Dia telah menurunkan kitab dan Hikmah kepada manusia. Hal ini menegaskan agar kita untuk mengimani kepada Al Qur’an dan As Sunnah;
 
Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. dan (juga karena) Allah telah menurunkan kitab dan Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (Q.S. 4 : 113)

Termasuk juga beriman kepada apa yang diturunkan Allah SWT kepada para nabi yang berasal dari keturunan Ya’qub (Bani Israil), seperti shuhuf (lembaran-lembaran berisi wahyu) yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya.

Beriman kepada kitab-kitab Allah, tersirat makna bahwa kita mengimaninya secara ijmal dan tafshil. Secara ijmal (garis besar), maksudnya kita mengimani, Allah SWT telah menurunkan kitab-kitab atau shuhuf kepada para nabi, walaupun tidak diberitahukan namanya, seperti ayat diatas.

Sedangkan secara tafshil (rinci), yaitu dengan menyebutkan nama kitabnya dan siapa yang menerimanya, sehingga disebut namanya dalam Al Qur’an karena membawa syari’at-syari’at yang agung dan mulia.

Seperti; mengimani Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, Zabur diturunkan kepada Nabi Daud AS, Taurat diturunkan kepada Nabi Musa AS dan Injil diturunkan kepada Nabi Isa AS.

Makna yang tersirat dari ayat diatas, bahwasannya terdapat nikmat agama yang benar, merupakan nikmat besar terkait dengan kebahagiaan dan kesengsaraan seseorang di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, Allah SWT tidak menyuruh kita untuk mengimani apa yang diberikan kepada para Nabi berupa harta, kerajaan dan lain sebagainya.

Melainkan memerintahkan kita agar beriman kepada apa yang diberikan Allah SWT kepada mereka (para nabi dan rasul-Nya) berupa kitab-kitab dan syari’at mereka. Disini disebutkan kata ‘Mir rabbihim’ (dari Tuhan Mereka), secara tersirat mengungkapkan mengenai kesempurnaan rububiyah (kepengurusan) Allah SWT terhadap hamba-hamba-Nya.

Yaitu dengan menurunkan kepada mereka kitab-kitab dan mengutus para nabi dan rasul, karena rububiyah-Nya kepada hamba-hamba-Nya menghendaki untuk tidak membiarkan mereka begitu saja dalam kebingungan dan kegundahan.

Jika melihat apa yang diberikan kepada para nabi itu berasal dari Tuhan mereka, maka terdapat perbedaan antara para nabi dengan orang-orang yang mengaku sebagai nabi, yaitu dengan melihat dari apa yang mereka dakwahkan.

Menurut sejarah, para rasul tidaklah mendakwahkan selain mengajak kepada kebaikan dan tidak melarang kecuali dari perbuatan buruk (keji), masing-masing mereka saling membenarkan dan tidak bertentangan karena memang sama-sama berasal dari Tuhan mereka.

Berbeda dengan orang-orang yang mengaku nabi, pastu terjadi pertentangan antara berita atau risalah yang mereka sampaikan, demikian juga terhadap perintah dan larangan sebagaimana masalah tersebut diketahui orang yang biasa mengkajinya.

Maksudnya; tidak memberda-bedakan dalam beriman, yaitu semuanya mereka imani tidak seperti orang-orang Yahudi yang beriman hanya sampai kepada Nabi Musa AS dan tidak seperti orang-orang Nasrani yang beriman hanya sampai kepada Nabi Isa AS. Padahal kafir kepada seorang nabi itu sama saja kafir kepada semua nabi.

Setelah Allah SWT menyebutkan beberapa hal yang wajib diimani, maka baik secara umum maupun khusus, ucapan mengimani tidak berhenti sampai disitu saja. Melainkan membutuhkan aplikasi nyata dalam kehidupan sehari-hari berupa amal shaleh.

Maka Allah SWT memerintahkan dengan menambahkan kalimat ‘dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’. Yaitu tunduk kepada keagungan-Nya dan patuh beribadah kepada-Nya, baik zhahir maupun batin seraya mengikhlaskan diri hanya kepada-Nya.

Walaupun ayat diatas (Surah Al Baqarah ayat 136) terlihat ringkas, namun sesungguhnya mencakup beberapa hal, yaitu diantaranya;
1.  Mengandung 3 unsur Tauhid (tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid asma' wash shifat).
2.  Beriman kepada semua Rasul dan beriman kepada semua kitab.
3. Disebutkan sebagian para rasul setelah menyebutkan beriman kepada para rasul secara umum menunjukkan keutamaan mereka di atas yang lain.
4. Menjelaskan tentang hakikat iman yang menghendaki adanya pembenaran di hati, lisan dan anggota badan serta berbuat ikhlas lillah dalam semua itu.
5. Menjelaskan mana rasul yang sesungguhnya dengan orang yang mengaku sebagai rasul padahal bukan rasul.
6.  Menjelaskan tentang ucapan yang diajarkan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya.
7.  Menunjukkan rahmat (kasih sayang) Allah SWT dan ihsan-Nya kepada hamba-hamba-Nya dengan memberikan nikmat agama yang menjamin kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.

Maka Mahasuci Allah SWT yang menjadikan kitab-Nya sebagai penjelas segala sesuatu, sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Mudah-mudahan bisa menjadi bahan renungan bagi kita semua, khususnya penulis pribadi, dan semoga bermanfaat. Aammiinn.

Tidak ada komentar: