Polemik dan konflik mengenai keberagaman beragama yang
merebak di kalangan masyarakat, khususnya di Indonesia, seakan tidak pernah terjadi
titik temu demi terciptanya kehidupan yang damai, saling menghargai, dan saling
menghormati satu sama lainnya.
Pasalnya, pemahaman masyarakat mengenai beragama sangatlah
minim, ditambah lagi dengan banyaknya pihak yang tidak bertanggungjawab
mengambil keuntungan pribadi dari problematik tersebut.
Berikut ini, penulis ingin menyampaikan apa yang seharusnya
disampaikan, semoga tulisan ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita semua,
khususnya penulis. Sehingga sedikitnya mampu memberikan pencerahan kepada yang
membacanya, tentang apa yang sebenarnya.
Semua kebenaran hanyalah datang dari Allah SWT, sedangkan
kesalahan datangnya dari penulis yang masih banyak kekurangan. Penulis ingin
menyampaikan salah satu ayat dari surah Al Baqarah, dimana Allah SWT berfiman;
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): ‘Kami beriman
kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Kami, dan apa yang diturunkan
kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan
kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya (Tuhan mereka).
Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk
patuh kepada-Nya’.” (Q.S. 2 : 136)
Pada surah Al Baqarah ayat 136 diatas
ini, mengandung makna yang tersurat (nyata) dan tersirat (terkandung
didalamnya), yaitu mengenai hal-hal yang wajib kita imani. Pengertian iman, mungkin
sudah banyak orang yang mengetahui, bahkan bukan hanya di Islam saja melainkan
disemua agama.
Iman adalah membenarkan dalam hati,
diucapkan secara lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan. Dengan demikian bila
mengaku beriman, maka harus benar-benar menyakini kebenaran tersebut di dalam
hati, kemudian mengucapkannya dengan lisan (syahadat), dan mengaplikasikannya
di dalam kehidupan sehari-hari (amal shaleh).
Merujuk pada pengertian iman, maka
syariat Islam terdapat didalamnya, begitu juga sebaliknya, bila didalam Islam
sudah pasti termasuk iman didalamnya. Ketika Islam dan Iman disandingkan, maka
terlihatlah dengan jelas, bahwa Iman merupakan pengakuan dan pembenarannya
(dari dalam diri), sedangkan Islam adalah aplikasinya (perbuatan nyata berupa
amal shaleh) yang terlihat dari luar.
Jadi, ucapan secara lisan yang
diyakini kebenarannya dalam hati dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari,
itulah yang akan mendapatkan balahasan pahala dari Allah SWT. Namun jika
seseorang mengaku Islam, namun hanya sebatas ucapannya saja, maka itu merupakan
kekufuran.
Penjelasan diatas, menjadi sebuah
isyarat yang harus disampaikan secara jelas dan berterus terang mengenai aqidah
dan syariat Islam yang sesungguhnya, serta menyampaikan (disyiarkan atau
didakwahkan) kepada yang lainnya.
Pada kalimat ‘Kami beriman’, ditujukan kepada seluruh umat Islam, dimana
mengandung kewajiban untuk berpegang teguh kepada agama Allah SWT, saling bersatu
didalamnya dan dilarang berpecah belah. Kaum mukmin itu diibaratkan seperti
tubuh manusia, merupakan satu kesatuan yang utuh, tidak bisa dipisah-pisahkan.
Boleh saja seseorang mengatakan dirinya beriman, secara
tafshil, ‘ala wajhit taqyid.
Misalnya; saya beriman kepada Allah, saya beriman kepada kitab-kitab Allah, dan
lain sebagainya. Bahkan mengucapkan kalau dirinya beriman itu, menjadi
kewajiban.
Akan berbeda maknanya apabila seseorang mengungkapkan
kalau dirinya seorang mukmin, maka kalimat tersebut harus disertai dengan
kalimat Insya Allah. Sebab kalimat, ‘saya seorang mukmin’, terdapat tazkiyah
(menganggap dirinya suci), dan persaksian dirinya sebagai mukmin.
Kalimat ‘Beriman kepada Allah’, mengandung didalamnya pengakuan bahwa Allah
sebagai Rabbul ‘alamin (pencipta,
penguasa dan pemberi rezeki, serta rahmat bagi alam semesta). Dia Maha Esa,
memiliki sifat sempurna, bersih dari segala kekurangan dan cacat, serta hanya
kepada Dia-lah satu-satunya yang berhak disembah dan tidak boleh disekutukan.
‘Beriman
kepada apa yang diturunkan Allah SWT kepada kita’, termasuk didalamnya beriman
kepada Al Qur’an dan As Sunnah, serta juga isi kandungannya. Seperti, mengenai
sifat-sifat Allah, sifat-sifat rasul-Nya, tentang hari akhir (kiamat), mengenai
juga hal-hal ghaib yang telah lalu dan yang akan datang, serta mengenai
hukum-hukum syar’i berupa perintah
dan larangan, serta hukum-hukum jaza’i
(pembalasan terhadap amal perbuatan).
Dimana Allah SWT berfirman dalam surah An Nisaa’ ayat
113, bahwa Dia telah menurunkan kitab dan Hikmah kepada manusia. Hal ini
menegaskan agar kita untuk mengimani kepada Al Qur’an dan As Sunnah;
“Sekiranya bukan
karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka
berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. tetapi mereka tidak menyesatkan
melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun
kepadamu. dan (juga karena) Allah telah menurunkan kitab dan Hikmah kepadamu,
dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia
Allah sangat besar atasmu.” (Q.S. 4 : 113)
Termasuk juga beriman kepada apa yang
diturunkan Allah SWT kepada para nabi yang berasal dari keturunan Ya’qub (Bani
Israil), seperti shuhuf
(lembaran-lembaran berisi wahyu) yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Ibrahim,
Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya.
Beriman kepada kitab-kitab Allah, tersirat
makna bahwa kita mengimaninya secara ijmal
dan tafshil. Secara ijmal (garis
besar), maksudnya kita mengimani, Allah SWT telah menurunkan kitab-kitab atau
shuhuf kepada para nabi, walaupun tidak diberitahukan namanya, seperti ayat
diatas.
Sedangkan secara tafshil (rinci), yaitu
dengan menyebutkan nama kitabnya dan siapa yang menerimanya, sehingga disebut
namanya dalam Al Qur’an karena membawa syari’at-syari’at yang agung dan mulia.
Seperti; mengimani Al Qur’an yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, Zabur diturunkan kepada Nabi Daud AS,
Taurat diturunkan kepada Nabi Musa AS dan Injil diturunkan kepada Nabi Isa AS.
Makna yang tersirat dari ayat diatas,
bahwasannya terdapat nikmat agama yang benar, merupakan nikmat besar terkait dengan
kebahagiaan dan kesengsaraan seseorang di dunia dan akhirat. Oleh karena itu,
Allah SWT tidak menyuruh kita untuk mengimani apa yang diberikan kepada para
Nabi berupa harta, kerajaan dan lain sebagainya.
Melainkan memerintahkan kita agar
beriman kepada apa yang diberikan Allah SWT kepada mereka (para nabi dan
rasul-Nya) berupa kitab-kitab dan syari’at mereka. Disini disebutkan kata ‘Mir rabbihim’ (dari Tuhan Mereka),
secara tersirat mengungkapkan mengenai kesempurnaan rububiyah (kepengurusan) Allah SWT terhadap hamba-hamba-Nya.
Yaitu dengan menurunkan kepada mereka
kitab-kitab dan mengutus para nabi dan rasul, karena rububiyah-Nya kepada
hamba-hamba-Nya menghendaki untuk tidak membiarkan mereka begitu saja dalam
kebingungan dan kegundahan.
Jika melihat apa yang diberikan
kepada para nabi itu berasal dari Tuhan mereka, maka terdapat perbedaan antara
para nabi dengan orang-orang yang mengaku sebagai nabi, yaitu dengan melihat
dari apa yang mereka dakwahkan.
Menurut sejarah, para rasul tidaklah mendakwahkan
selain mengajak kepada kebaikan dan tidak melarang kecuali dari perbuatan buruk
(keji), masing-masing mereka saling membenarkan dan tidak bertentangan karena
memang sama-sama berasal dari Tuhan mereka.
Berbeda dengan orang-orang yang
mengaku nabi, pastu terjadi pertentangan antara berita atau risalah yang mereka
sampaikan, demikian juga terhadap perintah dan larangan sebagaimana masalah
tersebut diketahui orang yang biasa mengkajinya.
Maksudnya; tidak memberda-bedakan
dalam beriman, yaitu semuanya mereka imani tidak seperti orang-orang Yahudi
yang beriman hanya sampai kepada Nabi Musa AS dan tidak seperti orang-orang
Nasrani yang beriman hanya sampai kepada Nabi Isa AS. Padahal kafir kepada
seorang nabi itu sama saja kafir kepada semua nabi.
Setelah Allah SWT menyebutkan beberapa hal yang wajib
diimani, maka baik secara umum maupun khusus, ucapan mengimani tidak berhenti
sampai disitu saja. Melainkan membutuhkan aplikasi nyata dalam kehidupan
sehari-hari berupa amal shaleh.
Maka Allah SWT memerintahkan dengan menambahkan kalimat
‘dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’. Yaitu tunduk
kepada keagungan-Nya dan patuh beribadah kepada-Nya, baik zhahir maupun batin seraya mengikhlaskan diri hanya
kepada-Nya.
Walaupun ayat diatas (Surah Al
Baqarah ayat 136) terlihat ringkas, namun sesungguhnya mencakup beberapa hal,
yaitu diantaranya;
1. Mengandung
3 unsur Tauhid (tauhid
rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid asma' wash shifat).
2. Beriman kepada semua Rasul dan beriman kepada semua kitab.
3. Disebutkan sebagian para rasul setelah
menyebutkan beriman kepada para rasul secara umum menunjukkan keutamaan mereka
di atas yang lain.
4. Menjelaskan tentang hakikat iman yang menghendaki
adanya pembenaran di hati, lisan dan anggota badan serta berbuat ikhlas lillah
dalam semua itu.
5. Menjelaskan mana rasul yang sesungguhnya dengan
orang yang mengaku sebagai rasul padahal bukan rasul.
6. Menjelaskan tentang ucapan yang diajarkan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya.
7. Menunjukkan rahmat (kasih sayang) Allah SWT dan ihsan-Nya kepada
hamba-hamba-Nya dengan memberikan nikmat agama yang menjamin kebahagiaan mereka
di dunia dan akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar