Kamis, 28 Agustus 2014

Kenapa Manusia Gagal dalam Hidup? Oleh : Machfudh

Menjalani hidup dalam kehidupan, terkadang manusia kerap melupakan satu hal yang mungkin dianggap sepele oleh kebanyakkan orang. Namun, dampak dari melupakan hal yang sepele itu justru berakibat fatal, bahkan tak sedikit orang selalu merasa dirinya gagal dalam kehidupannya. Kenapa manusia gagal dalam hidup?

Oleh karena itu, penulis ingin berbagi kepada pembaca, mudah-mudahan bisa menjadi bahan renungan dan semoga bermanfaat, khususnya bagi diri penulis sendiri. Sebelumnya penulis mengajak kepada pembaca untuk merenungkan firman Allah SWT dalam surah Al Israa’ ayat 83 dan ayat 84.

Allah SWT berfirman;

Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakangi dengan sikap yang sombong; dan apabila Dia ditimpa kesusahan niscaya Dia berputus asa.” (Q.S. 17 : 83)

Katakanlah: ‘Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing’. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalan-Nya.”

Kedua ayat diatas, mungkin sudah sering kita dengar dari para pendakwah, baik diatas mimbar maupun dalam berdiskusi tentang agama. Dalam hal ini, penulis hanya ingin berbagi mengenai sedikit pengetahuan dari makna yang tersirat dalam ayat tersebut.

Baik secara sadar atau tidak, kita kerap melupakan satu hal, yaitu mengingkari rahmat (bakat dan kemampuan) yang telah diberikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hal inilah yang menjadi penyebab gagalnya hidup manusia dalam menjalani kehidupannya.

Pada kepengurusan Allah (rububiyyah) terhadap hamba-Nya, tidaklah mungkin ketika manusia lahir tanpa disertai rahmat (bakat dan kemampuan) dari-Nya. Hanya saja tergantung dari manusianya, menyadari atau tidak akan bakat dan kemampuan yang dimilikinya tersebut.

Ayat 84 surah Al Israa’, secara tersirat, Allah SWT menegaskan bahwa tiap manusia menjalani hidup dalam kehidupannya sesuai dengan kepengurusan-Nya, namun manusia itu sendiri yang kerap keluar dari apa yang sudah menjadi ketentuan-Nya.

Sehingga rahmat (bakat dan kemampuan) yang telah diberikan oleh Allah SWT, dipergunakan tidak sesuai dengan ketentuan-Nya (jalan yang seharusnya). Akibatnya, dia akan selalu menemui kegagalan dalam hidupnya, bahkan berulang kali dalam hidupnya bila tetap melakukan hal serupa.

Misalnya, seseorang diberikan rahmat dari Allah SWT berupa kemampuan dan bakat sebagai seorang pemimpin, dalam kenyataannya, orang itu selalu bekerja pada orang lain. Maka tak mengherankan jika dia akan selalu berpindah-pindah pekerjaan, dari satu kantor ke kantor lain.

Bukan lantaran dirinya tidak mampu menjalankan semua pekerjaannya, melainkan karena dirinya tidak akan mendapatkan kenyamanan dalam menjalani semua pekerjaannya. Jika tidak segera disadari, maka orang itu tidak akan pernah mendapatkan kemajuan dan kesuksesan dalam hidupnya.

Apabila seseorang menjalani hidup dalam kehidupannya sesuai dengan jalan yang telah ditentukan oleh Allah SWT, maka dirinya akan lebih mudah dalam mencapai kesuksesan hidupnya. Karena Allah SWT Maha Mengetahui siapa yang telah berjalan di jalan yang telah ditentukannya, dan jalan mana yang seharusnya ditempuh oleh hamba-Nya.

Namun demikian, manusia kerap kali lupa dan menjadi sombong terhadap rahmat yang telah diberikan oleh Tuhannya. Seperti makna yang tersurat dari ayat 83 surah Al Israa’, yaitu Allah Maha Pemberi Rahmat kepada semua manusia tanpa terkecuali, namun Allah SWT hanya akan memberikan hidayah kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya.

Kebanyakan manusia, dimana mereka apabila diberi nikmat oleh Allah SWT, mereka bergembira dengannya dan bersikap sombong, berpaling dan menjauh dari Tuhannya, bahkan tidak bersyukur kepada Tuhannya dan tidak lagi mau menyebut nama-Nya.

Dalam riwayat Ahad bin Sulaim, pernah melihat Nabi SAW bersabda; “Sesungguhnya Allah Maha Agung dan Maha Tinggi menguji hamba dengan pemberian yang diberikan kepadanya. Barang siapa ridha terhadap pemberian Allah. Maka, Allah akan memberkahi pemberian itu dan melapangkannya. Tetapi, barang siapa tidak ridha, maka Allah tidak akan memberkahinya pada pemberiannya itu.” (H.R. Ahmad)

Hadits tersebut mengingatkan kepada kita agar selalu mensyukuri terhadap apa pun yang diberikan Allah SWT kepada kita, baik kenikmatan berupa kesenangan, maupun kenikmatan berupa musibah. Karena ada keberkahan di dalamnya, hanya saja semua itu kembali kepada diri kita masing-masing dalam menyikapinya.

Ironisnya, ketika Allah SWT memberikan kesusahan kepada manusia, seperti sakit, kemiskinan, dsb. Jutsru ia berputus asa dari kebaikan atau dari rahmat Allah, bahkan ia memutuskan harapannya kepada Tuhannya dan mengira bahwa ia akan tetap terus seperti itu.

Adapun orang yang diberi hidayah oleh Allah SWT, maka ketika memperoleh nikmat, ia semakin tunduk kepada Tuhannya, mensyukuri nikmat-Nya yang diberikan kepadanya. Sedangkan ketika mendapat kesusahan seperti sakit, ia akan merendahkan diri kepada Tuhannya, mengharap kesembuhan dari-Nya dan dihilangkan dari derita itu, sehingga cobaan pun terasa ringan baginya.

Hal yang termasuk dalam pengertian ‘keadaan’ disini, adalah tabiat dan pengaruh alam sekitar. Jika orang tersebut tergolong orang yang baik, maka amalan mereka dilakukan karena Allah Rabbul ‘alamin. Akan tetapi, jika orang tersebut tergolong orang yang buruk, maka amal mereka dilakukan karena makhluk dan tidak melakukan selain yang sesuai dengan keinginan makhluk.

Sehingga jelas siapa manusia yang akan mendapatkan hidayah dari Allah SWT, sebab Dia mengetahui siapa yang cocok mendapatkan hidayah dan siapa yang tidak. Jadi kita wajib memanfaatkan rahmat (bakat dan kemampuan) dari-Nya, sesuai dengan jalan yang dikehendaki-Nya, sehingga kita akan dapat kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat. Semoga bermanfaat. Aammiinn.

Tidak ada komentar: