Suatu ketika Usama, seorang anak
muda diminta menjadi panglima angkatan perang memimpin peperangangan, menjebak
seorang musuh bebuyutan di sudut cekung bebatuan. Merasa terjepit seorang diri,
tentara musuh itu tak ada pilihan lain, selain harus bersyahadat.
Dia bersyahadat secara sempurna: Asyhadu an la illaha illa Lalah wa asyhadu
anna Muhammadan Raslullah. Namun, Usama tatap membunuh
tentara itu. Salah seorang sahabat melaporkan hal itu kepada Nabi, lalu Nabi memanggil
Usama dalam keadaan marah. Yang terlihat urat di dahi menonjol ke atas.
Nabi menanyai Usama kenapa
membunuh orang yang sudah bersyahadat. Usama memberi alasan, orang itu
bersyahadat hanya cari selamat karena terdesak, bukan didorong kesadaran.
Akhirnya Nabi menyatakan: Nahnu nahkumu
bi al-zhawhir wa Lalahu yatawallas sarir (kita hanya menghukum apa yang
tampak dan hanya Allah yang menentukan apa yang ada di dalam bathin orang).
Sejalan dengan hadis yang
diriwayatkan dalam kitab Al-Muwaththa itu, ialah firman Allah SWT: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi
petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk
kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. Al Qashash (28) : 56).
Kita tidak diberi hak memaksa orang masuk agama Islam, sebagaimana
ditegaskan dalam Al-Quran: Tidak ada paksaan (memasuki) agama (islam). (Q.S. Al Baqarah (2) : 256).
Demikianlah kehendak Allah SWT,
sebagaimana dinyatakan dalam ayat: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman seua orang di
muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semua?” (Q.S. Yunus (10) : 99).
Tentu ada kejengkelan atau
ketidaksenangan terhadap mereka yang tidak mau mengikuti ajaran yang
ditawarkan. Namun, betapapun kejengkelan itu muncul tidak dibenarkan melakukan
tindakan tidak terpuji melampaui batas, seperti tindakan anarkistis apalagi
membunuh mereka.
Sebagaimana ditegaskan dalam
Al-Quran: “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.” (Q.S. Al Maa’idah (5) : 8).
Tindakan melampaui batas sangat
dicela dan kita tidak dibenarkan mengikuti ajaran siapapun yang dinilai
melampaui batas. Sebagaimana ditegaskan Allah: “Dan janganlah kamu menaati perintah orang-orang yang melampaui
batas.” (Q.S. Asy Syu’araa’ (26) : 151 - 153).
Terlebih kita dilarang membunuh
hanya karena perbedaan pandangan. Orang kafir sekalipun tidak halal dibunuh
tanpa ada pembenaran khusus dalam syariah. Membunuh anak manusia
apapun agama dan kepercayaan, apapun etnik dan warna kulit tidak dibenarkan membunuh
dan menyakiti.
Sebagaimana ditegaskan dalam
Al-Quran: “Barang siapa yang membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan
di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.”
“Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semua.” (Q.S. Al Maa’idah (5) : 32).
Dalam ayat di atas Allah SWT
menggunakan redaksi man qatala nafsan
(barang siapa membunuh manusia), tidak dikatakan man qatala muminan (barang siapa membunuh orang mukmin). Ini
artinya Allah SWT memberikan penghargaan besar pada dunia kemanusiaan. Bahkan
dalam salah satu ayat ditegaskan: “Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam.” (Q.S. Al Israa’ (17) : 70).
Allah SWT menggunakan kata bani
Adam (anak cucu Adam). Artinya siapapun yang dipandang sebagai anak cucu Adam, tanpa
membedakan latar belakang agama, etnik, jenis kelamin, warna kulit, bahasa,
perbedaan geografis, juga perbedaan kewarganegaraan, yang penting dia manusia,
maka wajib hukumnya yang percaya kepada Al Quran untuk menghargai dan menghormati.
Perbedaaan adalah sunatullah. Allah SWT sejak awal
merancang alam ini dihuni penghuni yang majemuk dan plural.
Sebagaimana ditegaskan dalam
Al-Quran: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di
antara kamu.” (Q.S. Al Hujuraat (49) : 13).
Perbedaan agama dan sumber aliran
tidak perlu menjadi sumber konflik karena demikianlah rancangan Allah SWT.
Idealnya antara umat beragama, terutama agama Samawi, mesti lebih gampang
menjalin persatuan dan kesatuan. Karena sama-sama dirancang sejak awal, sebagai
agama monoteisme atau agama anak cucu Ibrahim.
Tugas para pemuka dan pemimpin
agama ialah bagaimana menekankan aspek persamaan dan pertemuan (encounters) antara satu agama dan agama
lain.
Bagaimana menitikberatkan
persamaan antar agama sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran: Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada
suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu.” (Q.S. Al ‘Imran (3) : 64).
Jika para tokoh agama memegang
teguh pesan-pesan suci keagamaan ini, sudah barang tentu tokoh-tokoh agama akan
tampil sebagai tokoh persatu dan figur yang selalu berwibawa dalam masyarakat.
Agama akan tampil mencerahkan.
Namun, jika tokoh-tokoh agama
tampil sebaliknya, lebih menekankan aspek perbedaan (distinctiveness), dampak pada umat akan mengalami keresahan dan ketegangan.
Agama akan tampil menakutkan.
Kesabaran dan kejiwabesaran
Rasullullah patut untuk diteladani. Sekalipun tumit berdarah-darah karena
lemparan batu oleh kaum kafir Thaif dan sekalipun berhadapan dengan Musailamah
al-kazzab, seorang yang mendeklarasikan diri sebagai nabi palsu, dia tetap
tidak bergeming dan emosional sedikitpun. Agama dijalankan secara konsisten
sesuai sendi-sendi ajaran Islam.
Karena itu, Islam mempunyai nilai
tawar sangat mengesankan ketika itu. Betul-betul membawa perubahan mendasar
yang mengarah pada peningkatan martabat kemanusiaan. Kita berharap, kriris
kekerasan yang dihubungkan dengan agama yang terjadi di negeri ini secepatnya
diselesaikan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar