Menteri Agama, Lukman
Hakim Syaifuddin, melontarkan
pertanyaan siapakah yang berhak memberi pengakuan agama atau kepercayaan
tertentu dari suatu komunitas, apakah negara dan bagaimana pula bentuk
pelayanan bagi penganut agama minoritas di Tanah Air.
Pertanyaan tersebut disampaikan
di atas mimbar di hadapan para peserta seminar “Peta Masalah Pelayanan Negara Terhadap Kehidupan Beragama” di
kantor Kementerian Agama, Jakarta, Sabtu (20/09-2014). Pada seminar tersebut
Menag dengan sabar mendengarkan seluruh pembicara dari kalangan umat
minoritas.
Menag yang didampingi staf ahli
bidang HAM, Machasin, dan Kepala Pusat Kerukunan Umat
Beragama (PKUB), Mubarok, sejak Pukul 09.30
– 12.30 WIB dengan tekun mendengarkan satu persatu
pembicara. Pada seminar itu, bertindak selaku moderator Machasin dengan pembicara Fajar
(Maarif Institut), Pendeta Favor Bancin, dan Sheila Soraya (Bahai).
Peserta bukan hanya dari kalangan
agama minoritas seperti Sunda Wiwitan, tapi juga dari agama Tao dan Bahai.
Moderator sempat membatasi pembicara dan memprioritaskan dari kalangan penganut
agama minoritas atau pemeluk agama lokal dan kalangan akademis seperti dari
Universitas Indonesia (UI).
Seminar hari ini, lanjut Menag,
merupakan kelanjutan dari pertemuan Focus Group Discussion (FGD)
dua hari lalu. FGD dibagi tiga kelompok: (1)
Perlindungan Negara Terhadap di luar enam agama (Islam, Katolik, Protestan,
Hindu, Buddha dan Konghucu), (2) Perlindungan Negara Terhadap Syiah dan
Ahmadiyah, dan (3) Penanganan Negara dalam Penyelesaian Kasus-kasus terkait
Rumah Ibadat.
Menag menjelaskan, perlu
penyatuan persepsi siapa yang memiliki otoritas yang pantas menetapkan suatu
komunitas sebagai pemeluk agama tertentu dengan kriterianya. “Saya memang harus
mendengarkan langsung dari seluruh pembicara. Lantas, kita petakan masalah.
Yang penting ke depan, aksinya dan solusinya bagaimana,” terangnya.
Intinya, dari sisi urusan agama
terkait dengan implementasi konstitusi, negara punya kewajiban melindungi dan
memberi pelayanan seluruh umat beragama dengan segala kebutuhannya. Namun,
Menag melanjutkan, apakah negara punya otoritas untuk memberi pengakuan
terhadap suatu komunitas sebagai pemeluk agama atau kepercayaan.
Putra mantan Menteri Agama, KH.
Saifuddin Zuhri (alm) ini, mengakui secara administratif negara berkewajiban memberi
pelayanan seperti pendidikan, kartu tanda penduduk (KTP),
pernikahan dan sebagainya. Di sini, agama menjadi ranah formal. Lantas,
legalitas menjadi perlu. Jika agama tidak perlu ada pengakuan, lantas siapa di
antara 240 juta penduduk Indonesia seharusnya dapat pelayanan negara.
Menag juga melontarkan
pertanyaan, apakah agama dan kepercayaan harus dibedakan atau dipisah
pengertiannya. Ini perlu penyamaan persepsi pula. Negara, lagi-lagi, untuk
memberi pelayanan butuh legalitas. Atau, lanjut dia, dalam menentukan suatu
agama atau kepercayaan perlu ditetapkan bersama dengan seluruh majelis-mejelis
agama, setidaknya melibatkan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Menag mengatakan, dalam kehidupan
beragama, toleransi harus dimaknai bahwa negara memahami terhadap faham yang
berbeda. Negara dituntut berlaku adil, namun negara membutuhkan pemahaman.
Sebelumnya pada seminar tersebut,
para pembicara menyampaikan hasil FGD. Khusus yang
terkait dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No: 9
dan 8 tahun 2006, peserta memberi beberapa catatan, di antaranya status hukum PBM dianggap kurang memiliki kekuatan hukum, serta kurangnya
sosialisasi di masyarakat dan aparatur negara.
Catatan lainnya, isi PBM masih banyak multi tafsir dan rentan penyalahgunaan,
khususnya pada pasal 14 ayat 3 terkait kata memfasilitasi, serta pasal 14 ayat
2 huruf b tentang rekomendasi siapa yang lebih dulu antara kemenag dan FKUB. Selain itu, belum optimalnya koordinasi antar instansi
terkait (Kepolisian, pengadilan, dinas tata kota, dan lain-lain) juga menjadi
catatan peserta.
Peran Forum Kerukunan Umat
Beragama juga disoroti karena pengurus FKUB terkadang
kurang memahami substansi PBM. Pola rekrutmen pengurus FKUB dinilai kurang aspiratif dan representatif. Selain itu,
posisi FKUB yang tidak jelas dalam struktur pemerintah,
belum ada FKUB di tingkat nasional, serta peran dewan
penasehat FKUB masih kurang maksimal dan tokoh adat
belum didayagunakan secara maksimal oleh FKUB; semua menjadi beberapa catatan
yang mengemuka.
Terkait dengan Persoalan Syiah
dan Ahmadiyah, dalam seminar tersebut diungkap bahwa masih dirasakan kurangnya
informasi utuh mengenai permasalahan tentang Syiah dan Ahmadiyah. Komunikasi
antara pemeluk Syiah dan Ahmadiyah dan kelompok intoleran juga belum optimal.
Masih kurangnya komunikasi antara aparat pemerintah dengan pemeluk Syiah dan
Ahmadiyah.
Ditengarai adanya aparatur
pemeritah yang ikut menfasilitasi penyebaran kebencian kelompok intoleran
terhadap pemeluk Syiah dan Ahmadiyah. Tidak adanya keseragaman sikap
aparat dalam penggunaan wewenang dan fungsi mereka terhadap konflik keagamaan.
Ada juga catatan tentang sejumlah
peraturan perundang-undangan yang dinilai bersifat diskriminatif terhadap
kelompok Syiah dan Ahmadiyah dan kelompok minoritas keagamaan lainnya.
Juga tentang kurangnya koordinasi
antar-lembaga dan instansi terkait kewenangan dan kebijakan dalam menyelesaikan
atas persoalan mengenai Syiah dan Ahmadiyah. Pun, kurangnya pemahaman tentang
hak-hak kewarganegaraan dari semua pihak yang berkepentingan dalam penyelesaian
persoalan yang dialami oleh pemeluk Syiah dan Ahmadiyah.
Persepsi tentang gangguan dan
ancaman terhadap stabilitas dan keamanan dianggap masih mendominasi berbagai
kebijakan atas persoalan yang dialami oleh pemeluk Syiah dan Ahmadiyah. Tidak
adanya sanksi tegas yang memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan
terhadap pemeluk Syiah dan Ahmadiyah serta kelompok minoritas keagamaan
lainnya.
Di samping itu, juga dirasakan
nuansa politisasi isu pemeluk Syiah dan Ahmadiyah untuk kepentingan tertentu;
kurang tersosialisasinya peraturan perundangan dan kebijakan terkait
perlindungan kebebasan beragama bagi warga Negara; serta ada kecenderungan
Fatwa Majelis Ulama diambil sebagai satu-satunya rujukan dalam menyatakan
kesesatan Syiah dan Ahmadiyah.
Lemahnya pemahaman hak-hak warga
Negara dari sebagian aparat Negara juga dinilai yang menyebabkan
ketidaknetralan dalam menyelesaikan persoalan terkait hak-hak konstitusi
kelompok minoritas keagamaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar