Indonesia memiliki falsafah bangsa, yaitu Bineka
Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu, Indonesia. Bhineka Tunggal Ika
merupakan keanekaragaman suku, agama, bahasa dan berbagai aspek kebudayaan di
Indonesia yang merupakan aset bangsa yang akan tetap aka bersatu membentuk
harmoni di dalam wadah ke-indonesia-an.(1)
Allah SWT menciptakan kebinekaan di alam semesta
dan dalam kehidupan manusia. Perbedaan dalam realitas kehidupan adalah anugerah
terindah dalam hidup ini. (2) Kebinekaan
suku, bahasam agama, golongan, budaya, profesi merupakan kekayaan bangsa
Indonesia, tetapi di sisi lain kebinekaan tersebut tidak jarang menimbulkan
konflik sosial di tengah-tengah masyarakat.
Pembahasan tentang kebinekaan dalam Al Qur’an ini,
dimaksudkan untuk memberikan wawasan dan pandangan bagi masyarakat, agar dapat
mewujudkan kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan hidup bersama, serta
terhindar dari segala macam konflik yang merugikan kehidupan secara moril
maupun materiil.
Allah SWT menciptakan manusia dan mengajarinya
berkomunikasi, serta menurunkan Al Qur’an untuk seluruh umat manusia yang
majemuk, plural, multi, berbeda-beda, beraneka ragam tradisi dan budaya, untuk
segala suku dan bangsa di semua tempat dan sepanjang zaman.
Allah SWT berfirman dalam Surah (55) Ar Rahman Ayat
1 – 4;
“(Allah) yang
Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia,
mengajarnya pandai berbicara.” (Q.S. 55 : 1 – 4)
Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuk yang
terbaik dan menyempurnakannya dengan akal dan pengetahuan. Dia mengajari
manusia kemampuan berbicara untuk mengungkapkan apa yang terlintas dalam
hatinya dan terbetik dalam sanubarinya, serta memahamkannya kepada orang lain.
Hal itu tidak bisa terlaksana, kecuali dengan adanya jiwa dan akal. (3)
Kehidupan manusia akan terus berkembang dan
melahirkan keanekaragaman yang tak terhingga. Allah SWT berfirman dalam Surah (30)
Ar Ruum Ayat 22 tentang kebinekaan, sebagai berikut;
“Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. 30 : 22)
Perbedaan bahasa, warna kulit; ada yang hitam,
kuning, sawo matang dan putih, padahal bersumber dari asal-usul yang sama, ini
merupakan tanda kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. (4)
Berbagai perbedaan dalam bahasa dan warna kulit
dapat dilihat dari segi geografi atau waktu tertentu dalam sejarah. Semua umat
manusia diciptakan dari sepasang orang tua, ibu dan bapak, tetapi kemudian
mereka bertebaran ke berbagai negeri dan iklim yang berbeda-beda.
Mereka berkembang menjadi berbagai macam bahasa,
serta warna kulit, namun dasar kesatuannya tetap tidak berubah. Mereka
merasakan dalam cara yang sama, dan sama-sama di bawah perlindungan Tuhan.
Kemudian ada pula perbedaan dalam waktu.
Bahasa-bahasa lama mati, bahasa-bahasa baru berkembang. Syarat-syarat kehidupan
dan pikiran baru selalu melahirkan dan mengembangkan kata-kata dan
ungkapan-ungkapan baru, susunan tata bahasa yang baru, serta bentuk pengucapan
yang baru pula. Begitu bangsa-bangsa lama hilang, bangsa-bangsa baru lahir. (5)
Pada ayat lain, Allah SWT berfirman dalam Surah
(35) Faathir Ayat 28;
“Dan demikian
(pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak
ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S. 35 : 28)
Dalam bentuk fisik kehidupan manusia dan hewan,
semua warna itu kita lihat tampak beraneka ragam. Betapa pun menakjubkannya
keanekaragaman dengan segala tingkatannya itu, dibandingkan dengan
keanekaragaman batin dan dunia rohani kita, sebenarnya itu tidaklah seberapa. (6)
Ayat di atas menyitir perbedaan bentuk dan warna
makhluk hidup. Ayat di atas menyatakan,bahwa di antara manusia,
binatang-binatang melata, dan binatang ternak, yakni unta, sapi, dan domba,
bermacam-macam bentuk, ukuran, jenis, dan warnanya.
Ayat tersebut menggarisbawahi kesatuan sumber
materi, namun menghasilkan aneka perbedaan. Sperma sebagai bahan penciptaan dan
cikal bakal kejadian manusia tampak tidak berbeda, tetapi begitu bayi
dilahirkan satu dengan yang lainnya tidak sama.
Faktor genetis adalah yang menjadikan
tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia tetap memiliki ciri khasnya dan tidak
berubah hanya karena habitat dan makanannya. (7)
Dalam
kehidupan hewan, ada hewan yang melata, ada yang berjalan dengan dua kaki, dan
ada pula yang berjalan dengan empat kaki atau lebih. Allah SWT berfirman dalam
Surah (24) An Nuur Ayat 45;
“Dan Allah telah menciptakan semua jenis
hewan dari air, Maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya
dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan
dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. 24 : 45)
Makhluk-makhluk
melata di dunia termasuk cacing, ular, lipan, laba-laba, dan serangga. Kalaupun
mereka berkaki, kaki mereka kecil-kecil. Ikan dan binatang laut, umumnya tak
dapat dikatakan berjalan. Hewan dua kaki, termasuk unggas dan manusia.
Kebanyakkan binatang menyusui berjalan di atas empat kaki. (8)
Di
alam lahir, melalui warna-warna kita dapat mengerti dan dapat menghayati
tingkat-tingkat warna yang sungguh menakjubkan itu. Tetapi dalam dunia rohani,
aneka warna atau tingkat-tingkat warna itu, bahkan lebih lembut dan lebih
padat. Siapakah yang benar-benar memahaminya?
Hanyalah
hamba-hamba Allah yang tahu; yakni yang mempunyai pengetahuan lebih dalam, yang
datang melalui perkenalan mereka dengan dunia rohani. Orang yang demikianlah yang
benar-benar dapat menghayati dunia batin, dunia rohani itu, dan merekalah yang
tahu bahwa takut kepada Allah adalah permulaan dari suatu kearifan. (9)
(Machfudh)
Sumber : Lajnah Pentashihan
Mushaf Al Qur’an, Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI.
(1)
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 1990)
(2) Alim Ruswantoro, Mochamad Sodik, M. Irfan Tuasikal, Nilai-Nilai Masyarakat Madani dalam Pemberdayaan Ekonomi,
(Yogyakarta; Puskadiabuma, 2008), hal. 43.
(3) Mustafa Al Maragi, Tafsir Al
Maragi, ter. Bahrun Abu Bakar, Hery Noer Aly, Anshori Umar Sitanggal,
(Semarang; Karya Toha Putra, 1989), hal. 187 – 188.
(4)
M. Quraish Shihab, Tafsir Al
Mishbah, (Jakarta; Lentera Hati, 2005), volume 11, hal. 37 – 38.
(5)
Abdullah Yusuf Ali, Qur’an
Terjemahan dan Tafsirnya, terj. Ali Audah, (Jakarta; Pustaka Firdaus,
1994), 1032, footnote 3527.
(6)
Abdullah Yusuf Ali, Qur’an
Terjemahan dan Tafsirnya, terj. Ali Audah, (Jakarta; Pustaka Firdaus,
1994), 1124, footnote 3912.
(7)
M. Quraish Shihab, Tafsir Al
Mishbah, (Jakarta; Lentera Hati, 2005), volume 11, hal. 465.
(8)
Abdullah Yusuf Ali, Qur’an
Terjemahan dan Tafsirnya, 900, footnote 3022.
Abdullah Yusuf Ali, Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, 1124,
footnote 3913.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar