Kebinekaan
adalah keragaman, atau keanekaragaman dalam pelbagai hal terkait makhluk,
ciptaan Allah. Keragaman dalam banyak aspek kehidupan manusia merupakan satu
fenomena yang sudah ada sejak lahirnya dan berkelanjutan sepanjang sejarah
manusia.
Sebagai
contoh, keragaman dalam berbangsa dan bersuku bangsa, budaya, profesi, status
sosial, keragaman dalam pemikiran, ritual, dan sebagainya.
Di
kalangan umat Islam pun perbedaan pendapat tidak dapat dihidari. Perbedaan
sudah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW, namun tidaklah meruncing, hal ini
terjadi karena para sahabat dapat menerima solusi yang diberikan Nabi dengan
penuh kesadaran, dan tidak jarang beliau pun membenarkan pihak-pihak yang
berbeda.
Perbedaan
pendapat di kalangan kaum muslim dalam soal-soal keagamaan mulai menonjol di
abad kedua hijriyah. Pada kasus perbedaan teologi, misalnya, memunculkan firqah-firqah, seperti Mu’tazilah, Asy’ariah, Maturidiyah,
dan seterusnya.
Perbedaan
pendapat dalam hal ini, tidak menyangkut hal yang prinsip, seperti keesaan
Allah SWT, kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir, dan kepastian
Hari Kiamat. Yang mereka perselisihkan adalah kedudukan sifat-sifat Tuhan,
kesucian Nabi Muhammad SAW, apakah sebelum atau sesudah pengangkatannya sebagai
utusan Allah.(1)
Kelompok
pemikir teologi tersebut, terus berkembang hingga mencapai banyak sekali, dan
ada yang mengatakan merujuk kepada satu hadits Nabi, hingga tujuh puluh tiga
kelompok/firqah.(2)
Terkait
hal tersebut, sebuah hadits Nabi dengan beragam redaksi dan sanad, yang
artinya; “Umatku akan
berkelompok-kelompok. Semua dineraka, kecuali satu.” Ditanya oleh sahabat;
“Siapakah yang satu itu?” Nabi
menjawab; “Dia yang sesuai denganku dan
sahabat-sahabatku.”
Banyak
diskursus tentang hadits ini yang kemudian malah memperuncing perpecahan, bukan
menciptakan kerukunan.
Mungkin
tidak berlebih, jika dikatakan bahwa sebagian redaksi ayat-ayat Al Qur’an,
karena mempunyai makna yang berbeda, sehingga melahirkan timbulnya perbedaan
pendapat di kalangan umat. Apalagi ada ayat-ayat mutasyabihat, yang bukan hanya artinya diperselisihkan tetapi juga
penetapan ayat-ayatnya.
Mungkin
ada benarnya juga, jika dikatakan bahwa Rasulullah SAW, sering mentoleransi
perbedaan-perbedaan tersebut, bahkan mentoleransi perbedaan-perbedaan pemahaman
para sahabat terkait ucapan-ucapan beliau.
Mahmud
Syaltut berpendapat, bahwa ada beberapa faktor yang mengakibatkan perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Salah satu faktor yang dimaksud, adalah menyangkut
periwayatan hadits; “Satu hadits mungkin
diterima atau diakui oleh seorang alim, tapi tidak diketahui atau tidak diakui
ke-sahih-annya oleh alim yang lain.”
Hal
ini antara lain akibat perbedaan penilaian terhadap perawi hadits, hal yang
sangat luas jangkauan pembahasaannya dalam studi Al Jarh Wa At Ta’dil.(3)
Walaupun
para ulama telah sepakat dalam bentuk ijma’
untuk menjadikan Al Qur’an dan Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, namun
kesepakatan ini belum mengantarkan mereka kepada kesepakatan akan penerimaan
riwayat demi riwayat dari kumpulan As Sunnah tersebut.(4)
Muhammad
Al Gazali, dalam bukunya, Haza Dinuna,
menulis; “Saya kagum terhadap tulisan Muhammad Taqi Al Qummi dalam Asas At Taqrib Baina Al Mazahib, yang
menulis; Mungkin ada yang bertanya apakah
ushul yang Anda jadikan pemisah antara kelompok-kelompok kaum muslim dan
seliannya? Kita semua percaya kepada Allah sebagai Rabb (Tuhan Pemelihara),
Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul, Al Qur’an sebagai Kitab Suci, Ka’bah
sebagai Qiblat dan tempat menunaikan ibadah haji, dan bahwa Islam didirikan
atas lima rukun yang telah dikenal bersama, dan bahwa tiada agama sesudahnya,
tidak pula ada nabi atau rasul sesudah Muhammad SAW, dan bahwa segala apa yang
disampaikannya adalah hak dan benar, Hari Kiamat itu benar, Kebangkitan itu
benar, Pembalasan di Hari Kemudian itu benar, surga dan neraka itu benar, dan
seterusnya.”(5)
Apa
yang dikemukakan di atas, dikemukakan juga sebelumnya secara singkat oleh
Muhammad ‘Abduh, ketika membicarakan hadits menyangkut pengelompokan umat
menjadi tujuh puluh tiga kelompok.
‘Abduh
menulis; “Semua kelompok akan selamat (tidak terjerumus ke dalam neraka),
selama mereka mempercayai ushul yang
dikenal dalam agama, seperti keesaan Tuhan, kenabian Muhammad SAW, serta adanya
hari kiamat”.
Perbedaan
yang ada adalah akibat tidak adanya pengetahuan yang mencapai tingkat
menyakinkan (‘ilm al yaqin). Sebab
kalau tidak demikian, pasti tidak akan timbul perbedaan-perbedaan tersebut.
Muhammad
Syaltut dan Syekh ‘Isa Mannun mengambil kesimpulan menyangkut masalah-masalah
diatas. Muhammad Syaltut menyimpulkan bahwa;
(a)
Dalam
masalah aqidah, penetapannya haruslah menggunakan argumentasi yang bersifat qat’i;
(b) Hal-hal
yang bersifat qat’i , dan terjadi
perbedaan pendapat di dalamnya, tidak dapat dianggap sebagai masalah aqidah,
dan tidak pula pendapat satu kelompok tertentu dalam masalah tersebut,
merupakan pendapat yang (pasti) benar, sedang selainnya salah; dan
(c) Kitab-kitab
yang membahas teologi tidak semata-mata berisi masalah-masalah yang diwajibkan
oleh agama untuk dianut, tetapi juga berisi, disamping hal-hal tersebut,
beberapa teori ilmiah yang argumentasi-argumentasinya saling bertentangan,
sehingga teori-teori tersebut merupakan ijtihad
para ulama.
(Machfudh)
Sumber : Lajnah Pentashihan
Mushaf Al Qur’an, Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI.
(1) M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an, (Bandung; Mizan, 1994), hal. 362.
(2) Ibnu Hazm, Al
Fisal Fi Al Ahwu’ Wa An Nihal, Ar Razi dalam I’tiqadat Firaq Al Muslimin Wa Al Musyrikin, dan Asy Syahrastani
dalam Al Milal Wa An Nihal.
(3) Mahmud Syaltut dan Muhammad ‘Ali As Sais, Muqaranah Al Mazahib Fi Al Fiqh,
(Kairo; Suaih, 1953), hal. 6.
(4) M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an, (Bandung; Mizan, 1994), hal. 365.
(5) Muhammad Al Gazali, Haza Dinani, (Kairo; Darul Kutub Al Hadisah, 1965), hal. 217.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar