Sebagai bangsa yang majemuk
dengan beragam agama, perlu ada titik temu atau toleransi umat beragama.
Sikap toleransi perlu proaktif untuk memahami perbedaan satu sama lain.
“Kita perlu proaktif memahami
orang lain yang berbeda,” kata Menteri Agama, Lukman Hakim Syaifuddin, pada
seminar “Peta Masalah Pelayanan Negara
terhadap Kehidupan Beragama”, Jakarta, Sabtu (20/09-2014).
Seminar ini, diikuti
tokoh agama, tokoh masyarakat, ketua majelis-majelis agama, pimpinan ormas
keagamaan, pemimpin agama selain enam agama besar, akademisi, penggiat
kerukunan umat beragama, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat.
Menurut Lukman
Hakim Syaifuddin, jiwa besar
dari semua pihak diperlukan untuk menciptakan toleransi. “Kalau kita bisa
berjiwa besar, mengerti orang lain yang berbeda dibanding menuntut orang lain
mengerti kita ini sudah modal besar,” ujarnya.
Dari seminar ini, kata Menag,
banyak hal yang kita peroleh. “Ternyata masih banyak masalah yang belum
teridentifikasi, perlu kita cari rumusan,” ujar Menag.
Di antaranya, lanjut Lukman Hakim Syaifuddin, menjawab pertanyaan apakah negara punya otoritas dalam memberi
pengakuan, apakah negara punya kewenangan menentukan agama atau bukan agama?
“Kalau negara tidak punya otoritas menentukan agama atau tidak, lalu siapa yang
bisa menentukan,” ucapnya.
Menag seraya menambahkan, bahwa
negara jika ingin melindungi umat beragama perlu ada legalitas menentukan
mana agama atau tidak.
Staf Ahli Menteri Agama, yang juga
pgs Kabalitbang dan Diklat, Machasin, mengatakan bahwa penyusunan peta masalah, merupakan inisiatif Menteri
Agama, Lukman
Hakim Saifudin. Seminar ini merupakan tindak lanjut pelaksanaan Focus Group
Discussion (FGD) yang dilaksanakan Kamis, 18 September
lalu.
Machasin mengungkapkan, peta masalah itu disusun untuk
dijadikan pegangan bagi pemerintahan baru Joko Widodo-Jusuf Kalla. “Ini penting, agar
pemerintahan mendatang bisa segera menyelesaikan problem kerukunan dengan
cepat,” terangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar