Apa
yang disebut oleh filsafat dengan ‘hukum
alam’ dan ‘hukum sebab-akibat’,
oleh agama (Islam) disebut dengan ‘sunnatullah’
(Sunnah Allah). Ini berarti, bahwa Allah dalam perbuatannya memiliki cara khusus
dan tetap yang tidak dapat diubah.
“Sebagai sunnah Allah yang Berlaku atas
orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan
mendapati peubahan pada sunnah Allah.” (Q.S. 33 : 62)
Pengertian tersebut ditegaskan kembali oleh Allah SWT dalam Surah (35)
Faathir Ayat 43, Dia berfirman;
“Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan
karena rencana (mereka) yang jahat. rencana yang jahat itu tidak akan menimpa
selain orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan
melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang
yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi
sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi
sunnah Allah itu.” (Q.S. 35 : 43)
Yang
dimaksud dengan sunnah orang-orang
yang terdahulu, ialah turunnya siksa kepada orang-orang yang mendustakan rasul.
Jelaslah bahwa sunnatullah adalah
ketentuan atau ketetapan Allah yang bersifat tetap dan konsisten, atau tidak
pernah mengalami perubahan.
Maksudnya
adalah, bahwa sunnatullah tidak akan
berubah menjadi sunnah yang lain,
sebagaimana dihapusnya suatu hukum positif dengan hukum positif yang lain.
Sunnatullah tidak akan berubah, sebagaimana
berubahnya hukum-hukum yang relatif, yang kepadanya dapat ditambahkan atau
dikurangi sesuatu, kemudian bagian tersebut direvisi tanpa harus menghapuskan
prinsip hukum tersebut.
Sungguh
kalimat seperti itu, merupakan kalimat-kalimat yang membingungkan dari sebuah
buku undang-undang yang membingungkan pula.
Adapun
Al Qur’an, pada dasarnya adalah pembimbing ilmu pengetahuan dan sahabat
orang-orang yang bertaqwa. Akal raksasa para filosof telah diperas
bertahun-tahun lamanya, untuk sampai pada kesimpulan hukum sebab-akibat umum
yang mengatur alam.
Kemudian
mereka tertipu, menepuk dada dan sombong, karena telah menemukan rahasia alam,
dan mampu menyingkap hukum yang penting.
Mereka
tidak tahu, bahwa Al Qur’an telah mendahuluinya dengan ungkapan yang dalam dan
tegas; “Sungguh kamu tidak akan mendapati
perubahan pada sunnah Allah.” Siapa yang dapat memberikan ungkapan yang
lebih tegas dari ungkapan Al Qur’an ini?
Al
Qur’an tidak saja menyebutkan, bahwa di alam ini terdapat hukum-hukum dan
sunnah-sunnah yang bersifat universal, melainkan pada kesempatan yang lain
juga, menetapkan sebagian sunnah-sunnah tersebut terhadap manusia.
Allah
SWT berfirman dalam Surah (13) Ar Ra’d Ayat 11;
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang
selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya
atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah
tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia.” (Q.S. 13 : 11)
Ayat
ini menjelaskan, bahwa Tuhan tidak akan merubah keadaan suatu bangsa, selama mereka
tidak merubah keadaan mereka, baik terkait keadaan yang menyebabkan kemajuan
maupun kemundurannya.
Suatu
kaum yang sedang berada pada kondisi kemunduran, mustahil akan mengalami
kemajuan, apabila mereka tidak menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan
kemunduran diri mereka sendiri.
Begitu
juga kaum yang sudah maju, mustahil mereka akan kembali menjadi terbelakang,
apabila tidak mengerjakan faktor-faktor yang menyebabkan keterbelakangan
mereka.
Allah
tidak akan mengubah hukum-hukum-Nya, tetapi manusialah yang harus mengubah diri
mereka sendiri, contoh sebagian bangsa kita sudah sekian lama tenggelam dalam
kejahilan, terperosok ke dalam dekadensi moral, tidak pernah berupaya menjalin
kesatuan dan persatuan, lalu dengan kenyataan seperti itu, memohon kepada
Allah, agar Dia menolong dan membela mereka.
Dengan
usaha kecil, manusia menuntut imbalan besar dan terkadang telah menjadikan
kedustaan dan penyelewengan sebagai cara hidupnya, dan berkhayal sebagai orang
yang memiliki nilai-nilai utama, lalu dalam keadaan seperti itu pula, ingin
menjadi pemimpin dunia, ini adalah suatu hal yang mustahil.
(Machfudh)
Sumber : Lajnah Pentashihan
Mushaf Al Qur’an, Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar