Pandangan
Al Qur’an mengenai hidup berdampingan secara damai di antara pemeluk agama,
merupakan pemikiran orisinil Islam.
Banyak ayat Al Qur’an, dalam ragam bentuk dengan lugas menganjurkan kepada umat
Islam memperhatikan masalah penting ini.
Pada bagian III, Al
Qur’an memerintahkan kepada umat Islam (muslimin) untuk mengedepankan ‘Jidal Ahsan’ dan ‘Berdialog secara damai’
dengan Ahlulkitab, serta melakukan hubungan yang berdasarkan prinsip-prinsip
bersama.
Serta menjelaskan
pula, agar menyambut tawaran damai dari pihak yang ingin berdamai, karena hal
tersebut juga dijelaskan di dalam Al Qur’an. Pada bagian keempat ini, merupakan
lanjutannya, yaitu sebagai berikut;
6. Menerima
hak-hak kaum minoritas
Tidak ada satu pun
agama, sebagaimana agama Islam yang memberikan jaminan kebebasan dan menjaga
kemuliaan, serta hak-hak kaum minoritas. Islam menyediakan keadilan sosial secara
sempurna di negeri Islam, bukan hanya untuk kaum Muslimin, melainkan juga bagi
seluruh warga negerinya, meski dengan adanya perbedaan agama, mazhab, ras,
bahasa, dan warna kulit.
Hal tersebut, salah
satu keunggulan besar alam kemanusiaan yang tidak dimiliki satu agama dan
aturan man pun di dunia selain Islam. Kaum minoritas mahzab dengan
menanda-tangani dzimmah
(perlindungan) dan memperoleh kewarganegaraan, dapat hidup secara bebas di
negeri Islam, dan sebagaimana kaum Muslimin memperoleh hak-hak sosial dan
keamanan dalam dan luar negeri.
Al Qur’an dengan tegas
menyatakan, bahwa kebijaksanaan umum Islam tentang penjagaam hak-hak
bangsa-bangsa dan agama-agama asing lainnya dijamin. Allah SWT berfirman dalam
surah Al Mumtahanah ayat 8;
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.”
(Q.S. 60 : 8)
Oleh karena itu, Islam
memberikan izin kepada kaum minoritas dan yang tidak menerima Islam untuk hidup
dalam masyarakat Islam dan memperoleh hak-hak kemanusiaannya, namun dengan
syarat mereka tidak menimbulkan gangguan bagi Islam dan kaum Muslimin, demikian
juga tidak melakukan penentangan terhadapnya.
Dalam ayat lain, Allah
SWT melarang menjadikan orang yang suka berperang karena agama sebagai kawan.
Surah Al Mumtahanah ayat 9, Allah SWT berfirman;
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang
yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu
(orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan,
Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. 60 : 9)
Memperhatikan dua ayat
tersebut diatas, kebijakan umum Islam terkait dengan kaum minoritas dan
orang-orang yang tidak menerima Islam, yaitu sepanjang kaum minoritas tidak
melanggar hak-hak kaum Muslimin, dan tidak melakukan konspirasi melawan Islam
dan kaum Muslimin.
Mereka dapat hidup
secara bebas di negeri Islam, dan kaum Muslimin memiliki tugas untuk bersikap
adil dan berlaku baik terhadap mereka.
Namun apabila mereka
melakukan kerjasama dalam merongrong Islam dan kaum Muslimin, atau melakukan
konspirasi dengan pihak musuh untuk memerangi Islam dan kaum Muslimin, maka
kaum Muslimin bertugas untuk menghalangi aktifitas mereka dan tidak menjadikan
mereka sebagai kawan.
Dalam Islam, kebebasan
dan penghormatan kepada kaum minoritas demikian toleran, sehingga apabila
seseorang dari ‘Ahlu Dzimmah’
melakukan sebuah perbuatan yang dipandang boleh dalam agama mereka namun
dipandang haram dalam Islam, seperti meminum khamar, maka tiada seorang pun
yang dapat menghalanginya.
Akan tetapi, tentunya
sepanjang perbuatan itu tidak dinampakkan secara lahir di hadapan khalayak
umum, jika ia melakukannya secara lahir dihadapan khalayak, maka ia akan
dituntut karena melakukan pelanggaran ‘qanun
tahta al himayah’.
Apabila ia ingin
melakukan sebuah pekerjaan yang dalam agam mereka juga dipandang haram, seperti
zina, sodomi dan sebagainya, maka dari sisi hukum, mereka tidak ada bedanya
dengan kaum Muslimin, akan dikenakan pidana (had). Meskipun demikian, mereka dapat dikembalikan kepada kaumnya
untuk ditindak, sesuai dan berdasarkan aturan-aturan agama mereka sendiri.
(Mabani Hukumat-e Islami, Ja’far Subhani, penerjemah dan penyusun
Daud Ilhami, hal. 526-530)
Sesuai dengan hukum
jurisprudensi Islam (Fiqih), apabila
dua orang ahli dzimmah ingin
menyelesaikan perkara di antara mereka di hadapan seorang hakim Muslim, maka
hakim tersebut boleh memilih (mukhayyar),
untuk mengadili mereka berdasarkan hukum Islam atau mengabaikan mereka.
Dalam surah Al Maaidah
ayat 42, Allah SWT berfirman;
“Mereka itu adalah orang-orang
yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram*). jika
mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah
(perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu
berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu
sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara
itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
adil.” (Q.S. 5 : 42)
*) Seperti
uang sogokan dan sebagainya.
Akan tetapi, hal
tersebut tidak bermaksud bahwa Rasulullah SAW dapat menuruti keinginan
pribadinya dalam memilih dua hal ini, melainkan bahwa kondisi dan situasi harus
menjadi bahan pertimbangan. Apabila mendatangkan kemaslahatan, maka beliau
boleh melakukan intervensi dan
memberikan hukuman, kalau tidak beliau boleh mengabaikannya. (Tafsir
Nemune, Jilid. 4, hal. 386)
Dalam hal ini, salah
satu kemaslahatan dalam menjaga interaksi dan hubungan dengan Ahlulkitab dan
kaum Muslimin. Dari ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa koeksistensi kaum
Muslimin dan Ahlulkitab demikian tinggi, sehingga mereka datang ke hadapan
Rasulullah SAW untuk diputuskan dan diadili perkara yang mereka hadapi.
Keadilan senantiasa
merupakan sebuah nilai universal. Kapan pun, dimana pun, dan dengan siapa pun.
Apabila penguasa atau pemerintahan Islam telah dipilih untuk menjadi mediator,
hakim dan juri, maka ia harus mematuhi keadilan.
Masalah-masalah ras,
kaum, kabilah, fanatisme kelompok, kecenderungan-kecenderungan pribadi,
intimidasi tidak boleh memberikan pengaruh dalam proses peradilan dan
pemerintahan yang dijalaninya.
7. Menerima
secara resmi para nabi dan kitab-kitab samawi
Pada dasarnya, seluruh
kitab samawi senada dalam masalah-masalah prinsip (ushul)… (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar