Umat Islam banyak mengenal
sahabat Rasulullah SAW, seperti Abu Bakar
Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan yang lainnya. Kehidupan dari para sahabat
Rasulullah tersebut, banyak pelajaran yang bisa kita petik. Misalnya dari
kehidupan Ali bin Abi Thalib, karena beliau mendapat tempat istimewa di sisi Rasulullah
SAW.
Karena Ali bin Abi Thalib,
masih memiliki keterikatan keluarga. Ali adalah anak dari paman nabi, akni Abi
Thalib. Bahkan Rasulullah SAW sendiri
pernah diasuh cukup lama oleh Abi Thalib, setelah beliau ditinggalkan orang tua
dan kakeknya.
Ali bin Abi Thalib yang sering
disebut Ali oleh beberapa kalangan ulama, usianya terpaut sekitar 30 tahun dari
usia Nabi Muhammad SAW. Jadi, saat nabi berusia 30 tahun, Ali baru dilahirkan.
Karena Nabi pernah diasuh oleh ayahnya Ali, maka tidak bisa dipungkiri Ali
kemudian dididik dan dibesarkan oleh Baginda Rasulullah.
Lantaran kedekatan tersebut,
maka Ali sudah dapat dipastikan mendapat informasi dan ilmu setiap harinya dari
Nabi SAW secara langsung. Sehingga tidak heran jika Ali menjadi seorang yang cerdas
dan banyak menyampaikan hadits.
Banyak para ulama mengatakan
kalau Nabi Muhammad SAW sebagai kota Ilmu (Madinatul
Ilmu), maka Ali adalah pintu gerbangnya (Baabul Ilmu). Dalam perjuanga dakwah Islam, posisi Ali sangatlah
luar biasa. Salah satunya adalah sikap heroik dan mengandung resiko saat
berusia 23 tahun.
Ali bersedia tidur di tempat
tidur Rasul, menggantikan Rasul sekaligus untuk mengelabui rencana kaum kafir
Quraisy yang akan membunuh Rasul. Ali tidur di kamar Rasul, sementara Rasul
pergi berhijrah dari Makkah ke Madinah.
Selain itu, Ali juga dipandang
sebagai seorang yang pemberani dan cakap dalam peperangan, baik perang Badar,
Uhud, Khandaq, dan perang lainnya. Bahkan, sejarahwan menulis keistimewaan Ali
sampai 18 item, baik dari sisi keilmuan dan kecerdasan, maupun kepeduliannya
terhadap orang lain yang sedang ditimpa kesusahan.
Saking dekatnya Ali dengan Nabi
Muhammad SAW, beliaupun menjadikan Ali sebagai menantunya. Ali dinikahkan
dengan Siti Fatimah, salah seorang putri Nabi dari istrinya, Siti Khadijah.
Keikhlasan dan Ketulusan Seorang
Ali
Sebuah kisah yang Insya Allah, bisa menjadi contoh
tauladan bagi umat Islam. Yaitu mengenai ketulusan dan keikhlasan dari Ali bin
Abi Thalib. Kisahnya sebagai berikut;
Suatu hari, ketika Ali bin Abi
Thalib pulang ke rumah dan menemui istrinya, Siti Fatimah, seraya ia berkata; “Adakah makanan untuk hari ini?” Istrinya
menjawab; “Kita tidak memiliki makanan,
hanya ada uang 6 dirham untuk persediaan makan Hasan dan Husain.”
Mendengar jawaban tersebut, Ali
pun menanggapi dan berkata; “Berikanlah
uang itu kepada saya, biar nanti saya yang akan membelikan makanannya.”
Usai bercakap dengan istrinya
dan menerima uang 6 dirham, Ali kemudian pamit keluar rumah untuk membeli makanan.
Namun ketika ditengah perjalanan, Ali bertemu dengan seseorang dan menegurnya;
“Wahai Ali, adakah orang yang mau
meminjamkan uang kepada saya karena Allah?”
Mendengar pertanyaan tersebut,
Ali spontanitas menjawab; “Ada, dan
akulah orangnya.” Akhirnya uang dibawa Ali untuk membelimakanan sebanyak 6
dirham itu diberikan kepada orang tersebut. Lantaran semua uangnya telah
diberikan kepada orang itu, maka Ali-pun tidak jadi berbelanja dan ia kembali
pulang ke rumah.
Setibanya di rumah, Siti
Fatimah pun bertanya kepadanya; “Wahai
suamiku, manakah manakan yang engkau beli?” Dengan tenang Ali menjawab; “Aku tidak jadi membeli makanan, karena uang
tersebut telah aku berikan kepada seseorang yang lebih membutuhkan.”
Mendengar jawaban suaminya itu,
Fatimah tidak marah, justru dia menyambut dengan gembira dan senang. Karena
telah memberikan hartanya kepada orang yang membutuhkan, walaupun harta itu sangat
diperlukan untuk memenuhi kepentingan keluarganya.
Setelah bercakap-cakap dengan
istrinya, Ali meminta izin istrinya untuk menemui Rasulullah. Guna ‘berkonsultasi’ dan untuk menceritakan
kejadian yang baru dialaminya. Maka, berangkatlah Ali menemui Rasulullah.
Saat diperjalanan, Ali bertemu
seseorang yang tengah membawa seekor unta. Berkata orang itu; “Wahai Ali, hendak kemana engakau?” Ali
menjawab; “Aku hendak berkunjung ke rumah
Rasulullah.”
“Belilah untaku, seharga 100 dirham. Karena aku tidak mempunyai uang?”
tawar orang itu. Mendapat tawaran itu, Ali menjawab; “Aku tidak punya uang sama sekali.” Orang itu menawarkan kembali; “Tidak apa-apa, juallah unta ini selakunya,
engkau bisa membayar belakangan setelah untanya laku.”
Ali pun menyepakati atas
tawaran tersebut, kemudian dia kembali lagi pulang ke rumah, guna mengikatkan
unta sebelum dirinya menemui Rasulullah. Namun, ketika dalam perjalanan pulang
ke rumah. Ali bertemu dengan seseorang dan orang itu menegurnya; “Wahai Ali, mau diapakan unta itu?”
“Aku mau menjualnya,” jawab Ali menanggapi teguran orang itu. Dan
orang tersebut berkata lagi; “Sungguh
unta yang sangat bagus. Saya berminat untuk membelinya, seharga 300 dirham.”
Singkat cerita, terjadilah transaksi jual beli unta antara Ali bin Abi Thalib
dengan orang tersebut, kemudian setelah menerima uang pembayaran Ali pulang ke
rumah, dia membawa pulang uang 300 dirham.
Sesampainya dirumah, istrinya
bertanya karena melihat wajah gembira sang suaminya. “Ada apa denganmu wahai suamiku, engkau kelihatannya sangat gembira sekali?”
Ali pun menceritakan semua yang baru dialaminya, seraya menunjukkan keuntungan
200 dirham dari menjual unta.
Kemudian, uang 200 dirham
dititipkan kepada istrinya, dan Ali pamit pergi untuk membayar hutang kepada pemilik unta sebesar 100 dirham, sekaligus
menemui Rasulullah SAW. Berangkatlah Ali ke rumah Rasulullah, namun dia tidak
bertemu dengan pemilik unta diperjalanan.
Setibanya di sana, Rasulullah
menyambut kedatangnya dan berkata; “Wahai
Ali, engkau datang kemari tentu ada sesuatu yang ingin disampaikan. Siapakah yang
mau duluan menyampaikan, aku atau engkau?”
Mendapat pertanyaan itu, Ali
menjawab; “Silahkan wahai Rasulullah,
engkau dulu yang menyampaikan sesuatu.” Melalui wahyu yang diterimanya,
Rasulullah SAW berkata; “Wahai Ali,
tahukah engkai, siapakah orang yang menjual dan membeli unta itu?”
Ali bin Abi Thalib menjawab; “Tidak, ya Rasulullah.” Kemudian Rasul
berkata lebih lanjut; “Orang yang menjual
unta itu adalah malaikat Jibril, sedangkan yang membelinya adalah malaikat
Mikail.”
Karena penasaran, Ali pun
bertanya kepada Rasulullah; “Lalu, kepada
siapakah aku harus membayar hutang 100 dirham ini?” Nabi Muhammad SAW
menjawab; “Itu semua rizkimu, karena
keikhlasanmu dalam mengeluarkan shadaqah.”
Melihat dari kisah diatas, maka
dapat diambil sebuah kesimpulan. Bahwa salah satu tauladan dari sahabat Nabi
SAW, Ali bin Abi Thalib. Yaitu dengan keikhlasan dan ketulusan yang benar-benar
dari hati dan karena Allah SWT semata-mata.
Sedekah yang dikeluarkan walaupun
dalam keadaan dan kondisi sulit serta sangat membutuhkan, namun Ali tetap
ikhlas memberikan uang 6 dirham kepada orang lain yang lebih membutuhkan uang
tersebut. Allah SWT pun langsung menggantinya dengan berlipat ganda, dari 6
dirham menjadi 300 dirham.
Selain kisah Ali bin Abi Thalib
diatas, masih banyak lagi kisah yang mencerminkan spirit kebaikannya. Sebagai penutup, dibawah ini salah satu nasehat
Ali bin Abi Thalib saat memberikan ceramah, yaitu sebagai berikut;
“Ambillah 5 hal dariku, pertama, janganlah engkau mengharapkan sesuatu
dari seseorang, kecuali
dari Allah SWT. Kedua, janganlah engkau takut terhadap apapun, kecuali takut
kepada Allah SWT. Ketiga jangan segan-segan mempelajari hal yang belum engkau
ketahui. Keempat, janganlah malu mengatakan tidak tahu, saat ditanya sesuatu
yang tidak engkau ketahui. Dan kelima, hendaklah bersabar atas dasar iman, dan
jadikan iman seperti kepala dalam tubuhmu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar